Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Dongeng Andersen: Putri Duyung Kecil (1837)

7 Oktober 2025   19:40 Diperbarui: 7 Oktober 2025   19:40 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Edmund Dulac, The Mermaid -- The Prince (1911). Public Domain, via Wikimedia Commons. 

"Jika para polip menyerangmu saat kau berjalan pulang menembus hutanku," kata sang penyihir laut, "teteskan saja setitik dari ramuan ini pada mereka, dan tentakel-tentakel mereka akan terurai menjadi seribu keping."

Namun tak perlu hal itu dilakukan, sebab para polip itu melingkarkan diri ketakutan begitu melihat ramuan yang berkilauan. Ia berpendar di tangan si putri duyung kecil, berkilat bagaikan bintang yang bersinar terang. Maka dengan cepat ia menembus kembali hutan itu, melewati rawa yang mendidih, dan daerah pusaran air yang meraung-raung.

Dari kejauhan, ia dapat melihat istana ayahnya. Cahaya di balairung besar telah dipadamkan, dan dapat dipastikan bahwa semua penghuni istana telah tertidur. Tetapi ia tidak berani mendekat ke sana, kini setelah suaranya hilang dan ia hendak meninggalkan rumahnya untuk selamanya. Hatinya terasa seolah akan pecah karena duka. Dengan langkah perlahan, ia masuk ke dalam tamannya, memetik satu bunga dari setiap petak milik saudari-saudarinya, lalu meniupkan seribu ciuman ke arah istana dan naiklah ia menembus laut biru yang kelam.

Matahari belum terbit ketika ia melihat istana sang Pangeran. Saat ia menaiki tangga marmer yang megah itu, bulan masih bersinar terang di langit. Si putri duyung kecil menelan ramuan pahit yang membara itu, dan seketika terasa seolah pedang bermata dua menembus tubuhnya yang rapuh. Ia pun jatuh pingsan dan terbaring tak bergerak, seolah telah mati.

Ketika matahari terbit di atas laut, ia tersadar dan merasakan sekelebat nyeri yang tajam. Namun di hadapannya berdiri sang Pangeran muda yang tampan, menatapnya dengan mata hitam bagaikan bara. Menundukkan pandangannya, ia melihat bahwa ekor ikannya telah lenyap, dan di tempatnya kini ada sepasang kaki putih nan indah, lebih cantik daripada yang pernah dimiliki seorang gadis manusia mana pun. Tetapi ia telanjang, maka ia pun menutupi dirinya dengan rambutnya yang panjang mengalir.

Sang Pangeran bertanya siapa dirinya, dan bagaimana ia bisa sampai di sana. Mata birunya yang dalam menatapnya penuh kelembutan, namun sangat sedih, karena ia tak dapat berbicara. Maka sang Pangeran memegang tangannya dan membawanya masuk ke dalam istana.

Setiap langkah yang ia ambil terasa seolah ia berjalan di atas bilah-bilah pisau yang tajam, sebagaimana telah dinubuatkan oleh sang penyihir laut, namun ia menahannya dengan senang hati. Geraknya ringan bagai gelembung air, sementara ia berjalan di sisi sang Pangeran. Ia dan semua orang yang melihatnya terpukau oleh keanggunan langkahnya yang meluncur lembut.

Ketika tubuhnya telah diselubungi kain sutra dan muslin yang halus, ia menjadi sosok paling jelita di seluruh istana, meskipun ia bisu dan tak dapat bernyanyi ataupun berbicara. Budak-budak cantik, berpakaian sutra dan kain emas, datang menyanyi di hadapan sang Pangeran dan orangtuanya yang agung. Salah seorang di antara mereka bernyanyi lebih merdu daripada yang lain, dan ketika sang Pangeran tersenyum kepadanya dan menepuk tangannya, hati si putri duyung kecil diliputi kesedihan yang dalam, karena ia tahu bahwa dahulu suaranya jauh lebih indah daripada semuanya.

"Oh," pikirnya, "seandainya ia tahu bahwa aku telah menyerahkan suaraku untuk selamanya hanya agar aku bisa dekat dengannya."

Budak-budak yang anggun itu kini mulai menari mengikuti musik yang memesona. Maka si putri duyung kecil pun mengangkat lengannya yang putih dan ramping, berdiri di ujung jemarinya, dan meluncur di atas lantai. Tak seorang pun pernah menari seindah itu. Setiap gerakan tubuhnya menambah kejelitaan wajahnya, dan matanya berbicara lebih langsung kepada hati daripada nyanyian para budak itu.

Ia memikat hati semua orang terutama sang Pangeran, yang menyebutnya "gadis kecilku yang kutemukan." Ia menari berulang kali, meski setiap kali kakinya menyentuh lantai, terasa seolah ia sedang menginjak baja tajam yang bertepi runcing. Namun ia menahannya, tersenyum, dan menari kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun