Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Dongeng Andersen: Putri Duyung Kecil (1837)

7 Oktober 2025   19:40 Diperbarui: 7 Oktober 2025   19:40 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Edmund Dulac, The Mermaid -- The Prince (1911). Public Domain, via Wikimedia Commons. 

"Engkau datang tepat pada waktunya," katanya. "Setelah matahari terbit besok, aku takkan dapat menolongmu lagi sebelum setahun penuh berlalu. Aku akan meracik untukmu sebuah ramuan; sebelum fajar, engkau harus berenang ke pantai, duduk di daratan kering, dan minum ramuan itu hingga habis. Maka ekormu akan terbelah dan menyusut hingga menjadi apa yang disebut manusia sebagai sepasang kaki yang indah. Namun itu akan sangat menyakitkan; seakan-akan pedang yang tajam menyayat tubuhmu dari ujung ke ujung.

Setiap orang yang melihatmu akan berkata bahwa engkau adalah manusia paling anggun yang pernah dilihat mata mereka, sebab gerakmu yang meluncur lembut akan tetap kau miliki, dan tak seorang penari pun akan dapat melangkah seindah dirimu. Tetapi setiap langkah yang kauambil akan terasa seolah engkau sedang berjalan di atas mata pisau yang tajam, hingga darahmu akan mengalir. Aku bersedia menolongmu tetapi apakah engkau bersedia menanggung semua itu?"

"Ya," jawab si putri duyung kecil dengan suara bergetar, sambil memikirkan sang Pangeran dan jiwa manusia yang ingin diraihnya.

"Ingatlah," kata sang penyihir laut, "sekali engkau menjelma menjadi manusia, engkau takkan pernah bisa kembali menjadi duyung lagi. Engkau takkan pernah dapat menembus air untuk pulang kepada saudari-saudaramu, atau ke istana ayahmu. Dan jika engkau tidak memenangkan cinta sang Pangeran sedemikian dalam, hingga demi dirimu ia melupakan ayah dan ibunya, memusatkan setiap pikiran dan seluruh hatinya padamu, serta membiarkan pendeta menyatukan tanganmu dalam pernikahan, maka engkau takkan memperoleh jiwa yang kekal. Jika ia menikahi orang lain, hatimu akan pecah di pagi hari berikutnya, dan engkau akan berubah menjadi buih di laut."

"Aku akan mengambil risiko itu," kata si putri duyung kecil, namun wajahnya pucat bagai kematian.

"Selain itu, engkau harus membayar," kata penyihir laut itu. "Dan bukan harga kecil yang kuminta. Engkau memiliki suara paling merdu di dasar laut ini; dan meskipun aku tahu engkau ingin memikat sang Pangeran dengan suaramu itu, engkau harus memberikannya kepadaku. Aku akan mengambil hal terbaik yang kau miliki, sebagai imbalan atas ramuan agungku. Aku harus menuangkan darahku sendiri ke dalamnya, agar minuman itu setajam pedang bermata dua."

"Namun bila kau ambil suaraku," kata si putri duyung kecil, "apa yang akan tersisa padaku?"

"Wajahmu yang jelita," jawab sang penyihir laut, "gerakmu yang meluncur lembut, dan matamu yang penuh bahasa. Dengan itu semua, engkau dapat dengan mudah memesona hati manusia. Nah, apakah engkau kehilangan keberanianmu? Julurkan lidah kecilmu, dan akan kupotong. Aku harus menerima bayaranku, dan engkau akan mendapat ramuan perkasa itu."

"Lakukanlah," kata si putri duyung kecil.

Sang penyihir menggantungkan kualinya di atas nyala api, untuk merebus ramuan itu. "Kebersihan adalah hal yang baik," katanya, sambil mengikat ular-ularnya menjadi satu simpul dan menggosok periuk itu dengan tubuh mereka. Lalu ia menusuk dadanya sendiri dan membiarkan darah hitamnya menetes ke dalam kuali. Uap mengepul darinya, membentuk wujud-wujud mengerikan yang akan menakuti siapa pun yang melihatnya. Sang penyihir terus-menerus menambahkan bahan-bahan baru ke dalam ramuan itu, hingga akhirnya cairan itu mendidih dengan suara seperti buaya yang menangis. Ketika ramuan itu akhirnya siap, warnanya sebening air paling murni.

"Itulah ramuannya," kata sang penyihir. Lalu ia memotong lidah si putri duyung kecil, yang kini menjadi bisu dan tak lagi dapat bernyanyi maupun berbicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun