Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Dongeng Andersen: Putri Duyung Kecil (1837)

7 Oktober 2025   19:40 Diperbarui: 7 Oktober 2025   19:40 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Edmund Dulac, The Mermaid -- The Prince (1911). Public Domain, via Wikimedia Commons. 

"Ayo, marilah kita bergembira!" kata si nenek tua. "Mari kita melompat dan menari sepanjang tiga ratus tahun yang kita miliki untuk hidup. Bukankah itu waktu yang cukup panjang, dan setelahnya kita akan beristirahat dengan senang di dalam kuburan kita.---Malam ini kita akan mengadakan pesta dansa di istana!"

Pesta itu jauh lebih agung daripada yang pernah terlihat di bumi. Dinding dan langit-langit balairung besar itu terbuat dari kaca tebal nan tembus pandang. Ratusan kerang besar berwarna merah mawar dan hijau rumput berjajar di sepanjang dinding, dengan nyala api biru di dalam tiap-tiap kerang, menerangi seluruh ruangan dan memancarkan cahaya ke luar tembus dinding kaca, sehingga laut di luar pun tampak terang-benderang. Terlihatlah ikan-ikan tak terhitung jumlahnya, besar dan kecil, berenang menuju dinding kaca itu. Pada beberapa di antara mereka, sisiknya berkilau merah keunguan; pada yang lain, perak dan emas berpendar lembut. Di seberang lantai balairung mengalir sebuah arus air yang lebar, dan di atasnya para duyung dan duyung jantan menari mengikuti lagu-lagu mereka yang memesona. Begitu indah suara mereka, tak ada manusia di daratan yang dapat menandingi.

Si putri duyung kecil bernyanyi lebih merdu daripada siapa pun, dan semua bertepuk tangan memujinya. Untuk sesaat, hatinya dipenuhi kebahagiaan, karena ia tahu bahwa ia memiliki suara terindah dari semua makhluk, di laut maupun di darat. Namun pikirannya segera mengembara ke dunia di atas sana. Ia tak dapat melupakan pangeran yang memesona itu, maupun kesedihannya karena tak memiliki jiwa yang kekal seperti milik sang pangeran. Maka ia pun meninggalkan istana ayahnya secara diam-diam, dan sementara di sana masih bergema nyanyian dan keceriaan, ia duduk murung di taman kecilnya sendiri.

Kemudian ia mendengar suara terompet menggema melalui air, dan ia berpikir, "Itu pasti tanda bahwa dia sedang berlayar di atas sana, dia yang kucintai lebih dari ayah dan ibuku, dia yang selalu terlintas dalam pikiranku, di tangannya ingin kuserahkan kebahagiaan hidupku untuk selamanya. Aku berani melakukan apa pun untuk memenangkannya dan memperoleh jiwa yang kekal. Sementara kakak-kakakku menari di istana ayahku, aku akan pergi menemui penyihir laut yang selama ini kutakuti. Barangkali ia dapat menasihatiku dan menolongku."

Si putri duyung kecil pun berangkat dari tamannya menuju pusaran air yang mengamuk di depan kediaman sang penyihir laut. Ia belum pernah menempuh jalan itu sebelumnya. Tak ada bunga yang tumbuh di sana, tak pula rumput laut. Pasir yang gersang dan kelabu terbentang sampai ke pusaran air, tempat air laut berputar bagai roda penggiling raksasa yang meraung, menyeret segala sesuatu dalam jangkauannya hingga ke dasar laut. Di antara pusaran-pusaran yang mengerikan itu, ia harus menyusuri jalannya untuk mencapai perairan tempat penyihir laut tinggal.

Lalu, untuk waktu yang panjang, satu-satunya jalan yang dapat ia lalui adalah menembus lumpur panas yang mendidih, tempat yang oleh sang penyihir disebut rawa gambutnya. Di balik itu terbentang rumahnya, di tengah-tengah sebuah hutan yang aneh, di mana segala pohon dan semak adalah polip, setengah hewan dan setengah tumbuhan. Mereka tampak seperti ular-ular yang tumbuh dari tanah, masing-masing memiliki seratus kepala. Segala cabang mereka adalah lengan-lengan panjang yang berlendir, dengan jari-jari menyerupai cacing yang menggeliat. Mereka melata, ruas demi ruas, dari akar hingga ke ujung tentakel mereka yang paling luar, dan apa pun yang dapat mereka capai akan mereka lilit dan takkan dilepaskan lagi.

Si putri duyung kecil merasa ngeri, dan berhenti di tepi hutan itu. Jantungnya berdebar keras oleh rasa takut, dan hampir saja ia berbalik. Namun ia teringat kepada sang Pangeran dan kepada jiwa yang dimiliki manusia. Maka ia menguatkan hatinya. Ia mengikat rambut panjangnya yang mengalir, erat-erat di sekeliling kepalanya agar polip itu tak dapat mencengkeramnya; lalu ia menyilangkan lengannya di dada dan melesat melalui air bagai seekor ikan, di antara polip-polip berlendir yang mengulurkan lengan-lengan dan jari-jari mereka yang meliuk untuk menangkapnya.

Ia melihat bahwa masing-masing polip itu menggenggam sesuatu dengan ratusan tentakel kecilnya, dan mencengkeramnya erat-erat bagaikan gelang-gelang baja. Dalam pelukan mereka tampak tulang-belulang putih manusia yang telah mati tenggelam di laut dan terbawa hingga ke dasar samudra ini. Kemudi kapal, peti-peti milik pelaut, dan kerangka hewan darat pun telah terperangkap dalam genggaman mereka. Namun pemandangan yang paling mengerikan dari semuanya adalah seekor putri duyung kecil yang telah mereka tangkap dan jerat sampai mati.

Akhirnya ia sampai pada sebuah lapangan lumpur yang luas di tengah hutan itu, di mana ular-ular air yang gemuk dan besar merayap dengan perut kekuningan yang busuk. Di tengah lapangan itu berdiri sebuah rumah yang dibangun dari tulang-tulang manusia yang karam di laut; dan di sana duduklah penyihir laut itu, membiarkan seekor kodok makan dari mulutny, sebagaimana kita mungkin memberi makan seekor burung kenari kecil dengan gula. Ia menyebut ular-ular airnya yang gemuk dan jelek itu sebagai "anak-anak kecilku yang manis," dan membiarkan mereka merayap dan berguling di dada lembeknya yang seperti spons.

"Aku tahu dengan tepat apa yang kauinginkan," kata sang penyihir laut. "Engkau sangat bodoh, tapi toh engkau akan mendapat keinginanmu meskipun itu akan membawa celaka bagimu, hai putri yang sombong. Engkau ingin menyingkirkan ekor ikanimu dan memiliki dua penopang sebagai gantinya, agar engkau dapat berjalan seperti manusia, membuat sang Pangeran muda jatuh cinta padamu, dan memenangkan dirinya serta jiwa yang kekal sekaligus."

Mendengar itu, penyihir laut tertawa terbahak-bahak dengan suara yang nyaring dan mengerikan, hingga kodok dan ular-ular itu terjatuh ke tanah dan menggeliat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun