Sang putri duyung kecil, berpakaian sutra dan kain emas, memegang jubah pengantin wanita, namun ia tuli terhadap nyanyian mars perkawinan, dan buta terhadap upacara suci itu. Pikirannya melayang pada malam terakhirnya di bumi, dan pada segala yang telah hilang dari dunianya.
Malam itu juga, sang mempelai pria dan wanita naik ke atas kapal. Meriam berdentum, dan panji-panji berkibar. Di geladak kapal didirikan sebuah paviliun kerajaan dari kain ungu dan emas, dihiasi dengan bantal-bantal mewah. Di sanalah pasangan pengantin itu akan beristirahat pada malam yang tenang dan jernih itu.
Layar-layar menggembung ditiup angin, dan kapal itu meluncur begitu lembut hingga seolah-olah tidak bergerak di atas laut yang tenang. Sepanjang malam, lentera-lentera berwarna gemerlapan dinyalakan, dan para pelaut menari dengan riang di geladak.
Putri duyung kecil itu tak dapat melupakan saat pertama kali ia naik dari kedalaman laut dan menyaksikan kemegahan serta kebahagiaan semacam ini. Ringan seperti burung layang-layang yang dikejar musuhnya, ia pun turut serta dalam tarian yang berputar cepat. Semua orang bersorak memujinya, sebab belum pernah ada yang menari seindah dirinya.
Kaki-kakinya yang lembut terasa seolah-olah ditusuk oleh belati-belati tajam, namun ia tak merasakannya, sebab hatinya menderita luka yang jauh lebih dalam. Ia tahu bahwa malam itu adalah malam terakhir ia akan memandang wajah orang yang telah membuatnya meninggalkan rumah dan keluarganya, orang untuk siapa ia telah mengorbankan suara indahnya dan menanggung siksaan tanpa henti, dan ia tahu bahwa ia akan mati tanpa pernah diketahui olehnya.
Itulah malam terakhir ia akan menghirup udara yang sama dengannya, atau memandang air laut yang dalam, atau ladang bintang di langit biru. Malam tanpa akhir, tanpa pikiran, tanpa mimpi, menantinya, ia yang tak memiliki jiwa dan tak dapat memperolehnya.
Kemeriahan berlangsung jauh melewati tengah malam, namun ia tetap tertawa dan menari, meski di dalam hatinya tersimpan kesadaran akan kematian. Sang Pangeran mencium pengantin perempuannya yang cantik, dan si gadis bermain-main dengan rambutnya yang hitam legam. Bergandengan tangan, mereka berdua pergi untuk beristirahat di paviliun megah itu.
Kesunyian menyelimuti kapal. Hanya juru mudi yang tetap berjaga di geladak, sementara putri duyung kecil itu menyandarkan lengannya yang putih di pagar kapal, memandang ke arah timur, menunggu cahaya merah pertama fajar, sebab ia tahu, seberkas sinar pertama matahari akan menewaskannya.
Kemudian ia melihat saudari-saudarinya muncul di antara ombak. Wajah mereka sepucat dirinya, dan tak tampak lagi rambut panjang nan indah yang dulu terayun oleh angin, semuanya telah dipotong.
"Kami telah memberikan rambut kami kepada penyihir laut," kata mereka, "agar ia sudi menolongmu, menyelamatkanmu dari kematian malam ini. Ia memberimu sebuah pisau, ini dia. Lihatlah betapa tajam mata pisaunya! Sebelum matahari terbit, engkau harus menikamkannya ke dalam jantung sang Pangeran, dan ketika darah hangatnya mengaliri kakimu, kaki itu akan menyatu dan kembali menjadi ekor ikan. Maka engkau akan menjadi putri duyung lagi, dapat pulang bersama kami ke laut, dan hidup tiga ratus tahun sebelum akhirnya mati dan berubah menjadi buih asin di lautan. Cepatlah! Ia atau engkau yang harus mati sebelum matahari terbit!
Nenek kita sangat berduka hingga rambut putihnya rontok dengan cepat, sama seperti rambut kami di bawah gunting penyihir. Bunuhlah sang Pangeran dan kembalilah pada kami. Cepat! Cepat! Lihatlah semburat merah di langit! Dalam beberapa menit matahari akan terbit dan engkau akan mati!"