Fikri berdiri memandang gerbang pondok pesantren "Darul Hikmah." Hari itu adalah hari pertamanya menjadi santri. Di usianya yang baru empat belas tahun, meninggalkan rumah untuk tinggal di pesantren terasa seperti melangkah ke dunia baru yang penuh ketidakpastian. Ia memeluk ibunya erat sebelum beliau berpamitan. "Fikri, ingat, kamu di sini untuk belajar dan mencari ridha Allah," pesan ibunya. Hari-hari awal terasa berat. Bangun pukul tiga dini hari untuk salat tahajud, menghafal Al-Qur'an setiap pagi, dan belajar kitab kuning membuatnya sering merasa lelah. Teman-temannya, yang sudah lebih lama tinggal di pesantren, tampak akrab satu sama lain. Fikri sering merasa kesepian, rindu pada kenyamanan rumahnya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Fikri: seorang santri senior bernama Ustaz Salman. Sosoknya sederhana, tetapi tutur katanya penuh hikmah. Setiap kali mengajar, Ustaz Salman selalu mengakhiri dengan kalimat, "Ilmu itu cahaya. Jangan biarkan hati gelap sehingga cahaya itu tak bisa masuk." Suatu malam, setelah salat Isya, Fikri memberanikan diri bertanya, "Ustaz, apa yang membuat kita bisa mencintai ilmu? Saya merasa sulit menikmati hafalan dan belajar." Ustaz Salman tersenyum. "Kamu tahu, Fikri, cinta itu datang dari kebiasaan. Jika kamu terus melangkah, meskipun kecil, kelak kamu akan menemukan keindahannya. Mulailah dengan niat yang ikhlas." Kata-kata itu terpatri di hati Fikri. Ia mulai membagi waktunya dengan lebih baik, mencatat setiap pelajaran, dan meluangkan waktu untuk merenungi ayat-ayat Al-Qur'an. Lambat laun, ia merasa lebih tenang. Suatu hari, pesantren mengadakan lomba qira'ah (membaca Al-Qur'an). Ustaz Salman mendorong Fikri untuk ikut. "Suaramu punya keindahan tersendiri, Fikri. Biarkan Al-Qur'an berbicara lewat dirimu." Awalnya, Fikri ragu. Tapi ia ingat pesan ibunya: bahwa ia ada di pesantren untuk mencari ridha Allah. Maka, dengan latihan keras dan doa, ia akhirnya berdiri di atas panggung kecil pesantren itu, melantunkan ayat-ayat suci dengan suara yang menggema. Saat selesai, semua santri memberikan tepuk tangan meriah. Wajah Fikri memerah, tetapi hatinya penuh rasa syukur. Ustaz Salman tersenyum bangga dari kejauhan. Hari-hari setelah itu, Fikri merasa hidupnya berubah. Hafalan Al-Qur'annya semakin lancar, dan ia mulai menikmati mempelajari kitab-kitab kuning yang dulu terasa sulit. Ia juga menjadi lebih dekat dengan teman-temannya, berbagi cerita dan semangat dalam menuntut ilmu. Pada malam perpisahan santri senior, Ustaz Salman memberikan pesan terakhirnya sebelum pergi melanjutkan studi di luar negeri. "Fikri, ingatlah, ilmu bukan hanya tentang pengetahuan, tapi tentang bagaimana ia mengubah dirimu menjadi manusia yang lebih baik. Teruslah melangkah, dan jangan pernah berhenti belajar." Fikri mengangguk, matanya berkaca-kaca. Kini ia mengerti bahwa menjadi seorang santri bukan hanya soal belajar agama, tetapi juga soal menempa hati, membangun karakter, dan menapaki jalan menuju ridha Allah. Dan sejak malam itu, Fikri berjanji pada dirinya sendiri: ia akan terus melangkah, meninggalkan jejak langkahnya di pintu langit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI