Harga pangan, terutama daging dan telur ayam pada awal Ramadan tahun ini mengalami kenaikan. Sebuah kondisi yang tampaknya selalu berulang setiap tahun. Tatkala sebagian masyarakat menyambut gembira akan hadirnya hari besar keagamaan, dibalik kegembiraan itu, menyimpan persoalan mahalnya harga daging dan telur.
Di Cirebon misalnya, Harga daging ayam di Pasar Kanoman, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, mengalami kenaikan. kenaikan harga tersebut berlangsung sejak awal pekan ini, tepatnya Senin (20/3/2023).
Selain itu, sehari menjelang Ramadan, harga daging ayam potong di Purwakarta, Jabar, juga mengalami kenaikan. Di Pasar Rebo Purwakarta, terpantau harga daging ayam mencapai Rp38.000 hingga Rp40.000 per kg.Â
Selain daging ayam, harga daging sapi juga naik hingga Rp140.000 rupiah per kg. Kenaikan diprediksi akan terus terjadi hingga mendekati Hari Raya Idul Fitri.Â
Kejadian serupa juga terjadi di Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, Minggu (12/3/2023) harga daging ayam tembus Rp 45.000/kg. Namun, harga tersebut bervariasi tergantung dari ukuran ayam.Â
Demikian juga dengan telur ayam, Saat ini di pasaran Batam harga telur terpantau Rp 53.000-57.000 per papan isi 30 butir. Padahal sebelumnya, harga telur sempat turun drastis dan menyentuh Rp 39.000 per papan. Menurut pedagang di pasar Botania Batam Center, Kota Batam, kenaikan harga telur ayam ras sudah terjadi sejak 10 hari jelang puasa.Â
Kenaikan bahan pokok seperti daging (ayam dan sapi) dan telur ayam, sejatinya tidak perlu terjadi jika mitigasi risiko kenaikan harga dapat dikendalikan jauh-jauh hari. Karena faktanya, tidak semua peternak mengambil keuntungan atas kondisi ini. Bahkan, ada peternak yang justru merugi.Â
Hal ini terungkap tatkala unjuk rasa peternak pada Senin, (13/3/2023) minggu lalu. Peternak ayam yang tergabung dalam Komunitas Peternak Unggas Nasional melakukan aksi unjuk rasa menunjukkan keprihatinan peternak.Â
Unjuk rasa dilakukan di depan Kantor Komnas HAM Jalan Latuharhary Menteng, Jakarta Pusat, mereka menuntut kejelasan kebijakan dari pemerintah soal perunggasan.Â
Pemerintah dituding justru lebih membuka peluang lebar bagi perusahaan skala besar menguasai industri perunggasan di Tanah Air. Tanpa memberi peluang bagi peternak skala kecil berkembang.Â
Salah satu penyebabnya, tidak tersedianya data suplai dan permintaan yang valid yang dimiliki pemerintah. Akibatnya, di pasaran, ketersediaan ayam selalu berlebihan (oversupply).Â
Ini kemudian digunakan perusahaan integrator untuk menguasai pasar dari hulu ke hilir yang berdampak secara langsung terhadap operasional dan kehidupan peternak mandiri dan peternak rakyat.
Sementara itu, adanya ketimpangan antara harga jual ayam di kandang dengan harga jual ayam di pasar juga menyebabkan keuntungan justru tidak selalu di pihak peternak.Â
Walakin, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional, telah menerbitkan Peraturan Badan Pangan Nasional No 5/2022 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Produsen dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen Komoditas Jagung, Telur Ayam Ras, dan Daging Ayam Ras. Namun, ini dirasa belum cukup memberikan keadilan.
Menurut aturan itu, harga acuan ditetapkan: untuk telur ayam ras, harga pembelian produsen: batas atas Rp24.000 per kg dan batas bawah Rp22.000 per kg, serta harga penjualan konsumen ditetapkan sebesar Rp27.000 per kg.Â
Sedangkan harga daging ayam ras (ayam broiler), harga pembelian produsen: batas atas Rp23.000 per kg live bird (ayam hidup), batas bawah Rp21.000 per kg live bird dan harga penjualan konsumen ditingkat konsumen sebesar Rp36.750 per kg karkas.Â
Akan tetapi, bagi peternak ayam potong, khususnya peternak mandiri, acuan harga batas atas dan batas bawah kerap menjadi persoalan sendiri.Â
Di tengah masifnya kenaikan harga pakan dan sarana produksi peternakan lainnya, penetapan harga acuan sering tidak sinkron dengan titik impas (break even point). Akibatnya, peternak menjadi serba kebingungan dan terimpit. Alih-alih memperoleh keuntungan, peternak mandiri justru mencoba agar tetap bertahan hidup. Belum lagi, jika alasan ayam sedang banjir, maka harga pembelian di tingkat peternak (harga produsen) pun akan turun. Artinya, peternak bukannya untung, tetapi justru semakin buntung.
Tantangan dan Solusi
Tidak dapat dipungkiri, saat ini, investasi di bidang pangan merupakan investasi yang sangat menjanjikan. Sehingga banyak investor di republik ini yang semakin bergeliat mengembangkan sayap usahanya.Â
Tidak ketinggalan, investasi pada dunia perunggasan. Bahkan, usaha ini pun kini telah menjelma menjadi industri yang terintegrasi. Maknanya, investor telah menjelma menjadi integrator. Menguasai sektor hulunya, juga mengembangkan sektor hilirnya.Â
Mulai dari memiliki pabrik pakan unggas sendiri, memiliki breeding farm (ternak penghasil telur untuk ayam final/final stok), memiliki penetasan telur (hatchery), memiliki komersial farm (perusahaan memelihara ternaknya sendiri), hingga investor memiliki rumah potong ayam sendiri, memiliki sarana transportasi untuk pengiriman barang sendiri, memiliki cool storage (gudang penyimpanan daging) serta investor memiliki pabrik untuk melakukan pengolahan daging ayam menjadi produk pangan lainnya, seperti sosis, nugget, bakso dan lain sebagainya.
Jika sudah begini, bagaimana dengan peternak mandiri? Dan bagaimana nasib peternak yang hanya punya kandang dan hanya memelihara/pembesaran ayamnya saja? Salah satu dalam rantai produksi macet saja, mereka pasti akan kalang kabut.Â
Oleh sebab itu, tantangan ini harus dapat dijadikan sebagai peluang. Pemerintah tidak boleh selamanya berpihak pada peternak integrator (investor), namun peternak mandiri juga jangan selalu menyalahkan pemerintah. Harus ada solusi dan formulasi yang tepat. Diantaranya adalah penguatan pada data.
Jujur saja, di tingkat pemerintah daerah, belum ada pendataan sektor perunggasan yang akurat. Baik pendataan berkenaan dengan jumlah peternak, jumlah produksi, maupun pendataan berapa jumlah kebutuhan (konsumsi) yang riil.Â
Semestinya, harus ada aplikasi khusus untuk memudahkan update setiap data yang telah dientry. Termasuk, mari manfaatkan sensus pertanian yang akan dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun ini.
Sensus Pertanian 2023 adalah kegiatan untuk menyediakan data struktur pertanian, terutama untuk unit-unit administrasi terkecil. Data ini nantinya juga menjadi tolak ukur statistik pertanian bagi kepentingan bangsa dan negara.Â
Sensus ini dilaksanakan setiap 10 tahun sekali. Untuk tahun ini, pelaksanaan pengambilan data akan dilakukan serentak se Indonesia pada tanggal 1 Juni hingga 31 Juli 2023.
Mari manfaatkan sensus pertanian 2023 dan semoga dengan data yang akurat, akan memudahkan pemerintah sebagai regulator dalam mencari solusi terbaik atas persoalan sektor perunggasan nasional.
Peternak mandiri sejahtera, investasi meningkat, Rakyat mendapatkan harga pangan yang wajar dan Indonesia berdaulat pangan serta Persiapan Ramadan tahun depan, harga pangan tidak mahal lagi. Semoga!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI