Mohon tunggu...
Arief Setyo Widodo
Arief Setyo Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pengetik teks bebas

Yogyakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ambisi Batam Mengejar Singapura

27 September 2023   13:28 Diperbarui: 27 September 2023   13:47 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan Barelang (dok. pribadi)

Berawal dari kekalahan Napoleon dalam perang Eropa pada 1814, Inggris dan Belanda kembali membagi ulang wilayah kekuasaannya. Batam yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Inggris, diserahkan kepada Belanda. Singapura dan Batam yang telah dipersatukan sejak masa Kesultanan Malaka pada abad ke-15, harus terpisah di bawah kekuasaan Eropa. Singapura diasuh oleh Inggris dan Batam diasuh Belanda. Kemudian Singapura tumbuh menjadi raksasa ekonomi dunia. Bagaimana dengan Batam?    

Perbedaan yang sangat kontras dari dua wilayah yang bersisian itu nampaknya membuat "panas" penguasa Batam saat itu. Pemerintahan Orde Baru berambisi mengejar kesuksesan tetangganya. Dirut Pertamina pada masa itu, Ibnu Sutowo ingin menjadikan Batam sebagai Singapura-nya Indonesia. Melalui Keppres No. 41 Tahun 1973, ditetapkan bahwa seluruh areal tanah di Pulau Batam diserahkan dengan hak pengelolaan kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Keputusan Presiden Suharto itulah yang kelak mengubah wajah Pulau Batam dan pulau-pulau di sekitarnya.

Ibnu Sutowo kemudian ditunjuk sebagai ketua Badan Otorita Batam. Namun kemudian terjadi krisis di Pertamina sehingga pengelolaan Batam diambil alih oleh pemerintah melalui Menteri Penertiban Aparatur Pembangunan yang dijabat Prof. Dr. JB Sumarlin tahun 1976. Pada masa kepemimpinan JB Sumarlin ini, Pulau Batam dirumuskan sebagai kota industri, pusat perniagaan, daerah akumulasi, pariwisata, dan pengembangan daerah industri. Pembangunan infrastruktur seperti: fasilitas pelabuhan, jalan, dan ketersediaan air bersih.

Pada tahun 1978, BJ Habibie ditunjuk sebagai ketua Badan Otorita Batam selanjutnya. Pada masa pemerintahan BJ Habibie pembangunan Batam semakin gencar dengan penanaman modal besar-besaran. Pada tahun 1983 dibentuklah Kota Administratif Batam yang mencakup Kecamatan Belakang Padang, Batam Barat, dan Batam Timur. Sejak saat itu, Pulau Batam dikelola oleh Badan Otorita dan Pemerintah Kota Batam. Badan Otorita berfokus pada pengembangan pembangunan daerah Industri di Pulau Batam, sedangkan Pemerintah Kota Batam bertugas mengelola pemerintahan dan membina kehidupan masyarakat. Hubungan kerjasama dan koordinasi antara Badan Otorita dengan Pemerintah Kota diatur dalam Keppres No. 7 Tahun 1984.

Kegiatan usaha dan industri di Batam semakin berkembang pesat. Mempertimbangkan terbatasnya kemampuan serta daya dukung yang tersedia, maka melalui Keppres No. 28 Tahun 1992 pemerintah memperluas kawasan industri Batam. Pulau Rempang, Pulau Galang, dan beberapa pulau kecil di sekitarnya dimasukkan sebagai wilayah lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam dan menetapkannya sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone). Istilah "BARELANG" (Batam Rempang Galang) muncul setelah penggabungan Pulau Rempang dan Galang.

Pembangunan Jembatan Barelang menjadi awal dari pengembangan kawasan Batam, Rempang, dan Galang. Pembangunan jembatan ini berlangsung dari tahun 1992 hingga tahun 1998. Jembatan yang diinisiasi oleh B.J. Habibie ini asli buatan anak negeri tanpa bantuan tenaga ahli dari luar negeri alias local pride. Pembangunan jembatan ini menghabiskan dana Rp400 miliar yang berasal dari anggaran Badan Otorita Batam. Jembatan Barelang menghubungkan tujuh pulau yakni: Batam, Tonton, Nipah, Setokok, Rempang, Galang, dan Galang Baru. Terhubungnya Jalan darat dari Batam hingga Galang Baru mempercepat proses pembangunan dan pengembangan wilayah Batam.

Pada era otonomi daerah, wilayah kota administratif Batam berubah statusnya menjadi daerah otonom kota Batam. Sejalan dengan meluasnya kawasan berikat Barelang, beberapa pulau dimasukkan dalam wilayah administratif Kota Batam melalui UU No. 53 Tahun 1999. Sebagian wilayah dari Kabupaten Kepulauan Riau saat itu, tepatnya sebagian Kecamatan Galang dan Bintan Utara menjadi bagian dari Kota Batam. Wilayah baru tersebut mencakup Pulau Rempang, Galang, Galang Baru, serta beberapa pulau kecil di sekitarnya seperti Pulau Abang, Air Raja, dan Subang Mas.

Perkembangan pembangunan yang semakin pesat di Kota Batam menjadi daya tarik bagi pendatang dan menyebabkan peningkatan jumlah penduduk. Pulau Batam semakin berkembang sebagai kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata. Sementara itu, di pulau-pulau sekitar mulai ramai dihuni para pendatang dan investor mulai berdatangan. Beberapa wisata pantai juga bermunculan di kawasan Barelang dan beberapa pulau di sekitarnya.

Untuk lebih memaksimalkan pelaksanaan pengembangan serta menjamin kegiatan usaha di bidang perekonomian di Kota Batam maka wilayah Kota Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Penetapan ini dilakukan melalui PP No. 46 Tahun 2007 yang kemudian diperbaharui PP No. 5 Tahun 2011. 

Kawasan ini meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, dan Pulau Janda Berias dan gugusannya. Penetapan Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun