Mohon tunggu...
Doddy Salman
Doddy Salman Mohon Tunggu... Dosen - pembaca yang masih belajar menulis

manusia sederhana yang selalu mencari pencerahan di tengah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Multikulturalisme vs Politik Identitas

16 Juni 2020   13:47 Diperbarui: 16 Juni 2020   13:38 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Multikulturalisme kembali mendapat ujian. Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno meminta aplikasi Alkitab berbahasa Minang dihapus. Permintaan itu disampaikan Irwan melalui surat kepada Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika. Melalui surat tertanggal 28 Mei 2020 itu, Irwan menyebutkan, masyarakat Minang sangat berkeberatan dan resah dengan adanya aplikasi yang dapat diperoleh secara gratis itu. Aplikasi tersebut dinilai sangat bertolak belakang dengan masyarakat Minang yang mayoritas beragama Islam, memakai adat dan budaya berfalsafah "adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (suara.com).

            Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Padang, Duski Samad mengatakan, surat Gubernur tersebut juga merupakan aspirasi pimpinan organisasi massa (Omas) Islam di Sumbar. Duski Samad yang merupakan Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang sebelumnya telah mendesak Gubernur Sumbar mengambil langkah agar aplikasi itu dihapus. Dalam indeks keberagaman umat beragama yang disusun Kementerian Agama tahun 2019, Sumbar mendapatkan 64,4 poin atau duduk di peringkat ke-33 dari seluruh provinsi. Poin yang diraih Sumbar itu di bawah poin rata-rata nasional, yaitu 73,83. Salah satu kontroversi kebebasan beragama di Sumbar terjadi Desember lalu. Kala itu muncul larangan ibadah natal di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung. Meski begitu, Pemprov Sumbar membantah penolakan terhadap aplikasi Injil berbahasa Minang sebagai bentuk pelanggaran hak beragama. (bbc.com)

            Kondisi yang terjadi di Padang Sumatera Barat ini merupakan kebangkitan politik identitas (identity politics) di mana masyarakat memobilisasi diri melalui isu etnis, agama, ras dan budaya untuk mendapat pengakuan identitas mereka melalui hak dan klaim sejarah (Kymlicka et al,2005:3).Kondisi ini tentunya menjadi permasalahan di Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa dengan beragam kepercayaan yang dianut sementara ideologi Pancasila menaungi semangat multikulturalisme. Tulisan ini mencoba membahas politik identitas ketika berhadapan dengan multikulturalisme

Pembahasan

            Multikulturalisme didefinisikan oleh Kamus Sosiologi sebagai pengakuan dan promosi pluralisme budaya ... multikulturalisme merayakan dan berupaya mempromosikan keragaman budaya, misalnya bahasa minoritas. Pada saat yang sama fokus pada hubungan yang tidak setara antara minoritas dengan budaya arus utama (Rattansi,2011).

            Kebijakan multikultural didasarkan kepada dua prinsip dasar (Rattansi,2011): kriteria administratif harus tidak berdasarkan ras seseorang (neutral-race) dan masyarakat dapat memelihara dan mengekspresikan identitas etnis pada lembaga publik seperti sekolah, museum, rumah sakit. Pemerintah daerah  mengakomodasi identitas etnis ini. Kedua prinsip dasar ini dijabarkan ke dalam delapan kebijakan multikultural (Rattansi,2011) yaitu:

1. Konstitusi, legislatif atau parlementer mengesahkan multikultural baik pemerintahan pusat maupun daerah.

2.Adopsi nilai multikultural di kurikulum sekolah

3.Penyertaan perwakilan etnis minoritas di media publik atau lisensi media

4.pengecualian dalam berpakaian, seperti warga Sikh tidak dilarang menggunakan turban

5. memberlakukan dwi kewarganegaran

6.pembiayaan organisasi etnis untuk mengembangkan kegiatan budaya

7.pembiayaan bahasa ibu

8.tindakan afirmatif untuk kelompok disabilitas

            Jika suatu negara mengadopsi 6 hingga 8 kebijakan tersebut maka dikategorikan sebagai negara pengadopsi multikultral yang kuat. Jika mengadopsi 3 hingga 5 kebijakan maka negara tersebut masuk kategori multicultural menengah. Jika mengadoosi di bawah 3 kebijakan maka dikategorikan negara yang multikulturalnya lemah. Bagaimana Indonesia? Penelitian yang dilakukan John Bowen (2005) menemukan bahwa Indonesia  cenderung menerapkan nilai-nilai normatif  kultural dengan menerapkan nilai-nilai Islam dalam peraturan (adanya pengadilan agama) secara struktural. Selain itu norma-norma yang berdasarkan tradisi seperti aturan adat (sesuai suku) masih ada dan dilembagakan. Kesimpulannya Indonesia menurut John Bowen disebut Pluralisme Normative (Normative Pluralism).

                Di sisi lain identitas adalah sumber makna dan pengalaman manusia (Manuel Castells, 2009). Dengan identitas kita mengenal dan mengelompokkan orang dan menyebutnya sebagai identitas kelompok. Ras, agama, etnis, nasionalitas, budaya, gender, orientasi seksual ialah sebagian penanda sosial (social marker) untuk mengenal dan membedakan identitas kelompok. Tanpa identitas kelompok, maka individu menjadi atomistik (terpecah-pecah) alih-alih swatantra (otonom). Politik identitas didefinisikan sebagai politik berdasarkan kelompok atau dengan kata lain mengutamakan kepentingan anggota kelompoknya daripada kepentingan semua anggota komunitas. Identitas kelompok umumnya didasarkan pada etnis, kelas, agama, gender, atau seksualitas. Kepentingan suatu kelompok mengalahkan pertimbangan kebijakan kebaikan bersama. Alasan pengutamaan kelompok paling sering didasarkan pada tuduhan penindasan historis(Denton,2010).
            Pada kasus penolakan aplikasi injil berbahasa Minang ini identitas kesukuan dan agama saling bercampur dengan klaim bahwa suku Minang itu muslim (beragama Islam) sehingga dengan logika oposisi biner dapat dikatakan bahwa jika ada orang mengaku suku Minang namun bukan muslim maka ia tidak dapat disebut orang Minang meskipun orangtuanya berasal dari suku Minang dan bahkan tinggal di Minang Sumatera Barat. Meski demikian dalam penelusuran banyak prasasti maka ditemuan bahwa  (Bonatz,2009) Adityawarman adalah pendiri kerajaan Minangkabau menyusul sejumlah situs arkeologi  menunjukan keberadaannya di wilayah Pagaruyung.  Prasasti terakhir Adiytawarman tahun 1375  melukiskan ia duduk di singgasana, makan minum di antara bunga dan wewangian sebagai penguasa Suravasa (kini disebut Saruaso). Di daerah bernama pulau Sawah ditemukan pula prasasti  Budha yang diperkirakan  berasal dari abad ke-10 masehi. Di wilayah Padang Roco berdiri patung  Budha Mahakala dengan tinggi 4,4 meter dan berat sekitar 4 ton dan diperkirakan sebagai patung Budha terbesar di Indonesia.(Miksic,2016). Dari fakta sejarah tersebut maka dapat kita yakini bahwa nenek moyang suku Minang beragama Budha. Lalu apakah karena beragama Budha nenek moyang mereka tidak dapat disebut suku Minang?

            Permintaan Irwan Prayitno untuk menghapus aplikasi injil berbahasa Minang memposisikan dirinya sebagai pejabat pemerintah secara resmi tidak mengakomodasi minoritas yang hidup di wilayah Sumatera Barat. Kondisi ini jelas  tidak mengakomodir keberagaman yang menjiwai multikulturalisme. Lalu mengapa  aplikasi injil berbahasa Minang menjadi persoalan?  Penelitian Ilahi (2018)  memperlihatkan ada persoalan lama di Sumatera Barat yang berkaitan dengan kehadiran agama Kristen secara sosial historis. Secara statistik menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah umat Islam di beberapa kota di Sumatera Barat berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) 2010. Sementara jumlah penganut Kristen dan Katholik mengalami kenaikan. Ilahi menyebutnya sebagai terjadi konversi agama pada masyarakat Minangkabau. Penelusuran Ilahi juga menunjukkan bahwa secara historis persoalan Islam dan Kristen sudah ada sejak adanya kontak dagang antara kerajaan Pagaruyung dengan Portugis, Belanda dan Inggris di awal abad 13 masehi. 

            Resistensi terjadinya apa yang disebut konversi agama tersebut sudah terjadi sejak lama. Pada tahun 1970-an direncanakan pembangunan Rumah Sakit Baptis Immanuel di Bukittinggi, akan tetapi rencana tersebut ditolak. Dalam tulisannya Ilahi (2018) menyebut upaya ini sebagai kristenisasi.Untuk menghambat gerakan kristenisasi di ranah Minang (Ilahi,2018:172-173) di Bukit Tinggi telah dibangun Rumah Sakit Islam Ibnu Sina dan Rumah Sakit Immanuel diambil alih oleh pemerintah dengan mengubah nama dan statusnya menjadi Rumah Sakit Ahmad Mukhtar.

Kesimpulan

            Penolakan aplikasi injil berbahasa Minang oleh pimpinan suatu wilayah adalah persoalan serius yang menciderai semangat multikulturalisme. Penolakan tersebut meminggirkan hak-hak kaum minoritas, dalam hal ini, umat beragama Kristen dan Katholik. Hasil penelusuran sejarah menunjukkan bahwa masalah Islam-Kristen sudah lama mengakar di masyarakat Sumatera Barat. Tindakan penolakan Gubernur Sumatera Barat hanyalah tindakah mutakhir dari suatu kekuasaan yang untuk kesekiankalinya mencabut hak warga negara untuk menjalankan ibadahnya sesuai Sila Pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Intervensi pemerintah pusat diperlukan dengan mengajak dialog antara tokoh-tokoh Minang yang dikenal moderat dan toleran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun