Kadang tubuh memberi sinyal dengan cara yang tak kita duga. Bagiku, itu datang lewat rasa kebas di mulut yang kemudian menjalar ke pipi.
Aku ingat saat itu Jumat siang. Aku merasa tubuhku baik-baik saja. Wajah pun tampak biasa, tensi juga normal. Kupikir mungkin hanya kecapekan atau salah makan.
Aku pun memilih mendiamkan, apalagi saat itu bungsuku sedang bersiap kembali ke kos, dan keluargaku yang lain hendak ke luar kota. Aku tidak ingin membuat mereka risau meninggalkan aku sendirian di rumah.
Namun, rasa kebas itu ternyata menolak pergi.
Sabtu pagi, setelah keluarga berangkat, kuputuskan pergi ke rumah sakit. Aku tidak bisa mendaftar ke poli hari itu karena harus melalui aplikasi Jaksehat minimal sehari sebelumnya. Jadi, pilihanku hanya IGD.
Pikiranku sederhana: daripada menunggu hari Senin dalam kecemasan, lebih baik periksa lebih cepat agar hati tenang.
Pengalaman Pertama di IGD
Sesampainya di IGD, kejutan lain menanti. Dokter jaga sempat menolak untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut—alasan beliau, kondisiku tidak mengancam nyawa dan bisa ditangani lewat poli pada hari Senin.
Namun, dari pemeriksaan awal dan kondisi wajahku yang asimetris, Â beliau menyampaikan dugaan: Bell's Palsy.
Aku kaget, asimetris? Tadi wajahku baik-baik aja. Dokter memberi aku waktu untuk berkaca dan ... benar! Wajah sisi kananku seperti tertarik ke bawah. Sejenak tubuhku gemetar. Apa yang sebenarnya sedang terjadi denganku?
Saat itu, aku hanya bisa menarik napas dalam. Di satu sisi ada rasa takut yang menekan, di sisi lain aku harus tetap tenang, agar pikiran tetap jernih. Sendiri di ruang IGD, aku berusaha menerima kenyataan dengan lapang, meski hati rasanya ciut.
Sebenarnya aku memahami kenapa dokter tidak bisa melanjutkan pemeriksaan. Fungsi IGD memang ditujukan untuk kondisi gawat darurat. Namun, saat hendak pulang, langkahku terasa berat.
Bagaimana jika aku sendirian di rumah, sementara tidak tahu apa yang akan terjadi nanti?
Di titik bimbang itu, aku memberanikan diri. Aku minta dokter IGD menghubungi seorang dokter senior yang pernah menangani aku ketika terapi lutut.
Beruntung sekali, dokter senior itu menyarankan rawat inap agar penanganan bisa segera dimulai. Keputusan yang mungkin sederhana, tetapi bagiku sangat berarti: aku tidak harus menghadapi kondisi ini sendirian.
Rasanya lega, sekaligus ironis. Biasanya orang menolak rawat inap, aku justru bahagia menerimanya.
Meski begitu, aku tetap belum memberi tahu keluargaku. Karena tubuh terasa fit, aku pikir tidak masalah sendirian di rumah sakit. Toh, hanya diinfus dan aku masih bisa berjalan sendiri. Namun, peraturan berkata lain: setiap pasien wajib ditemani keluarga.
Mau tidak mau, aku menghubungi bungsuku yang baru saja tiba di kos. Aku minta ia kembali untuk menemaniku. Sementara menunggu anakku datang, seorang teman baik datang lebih dulu agar aku bisa segera masuk ruang rawat inap.
Apa itu Bell's Palsy?
Bell's Palsy adalah kelumpuhan mendadak pada saraf wajah (nervus fasialis). Kondisi ini bisa membuat satu sisi wajah tampak terkulai atau sulit digerakkan. Gejalanya beragam: kebas, kesemutan, sulit untuk tersenyum, mengerutkan dahi, atau mengedipkan mata di sisi yang terkena.
Penyebab pastinya belum selalu jelas, tetapi banyak kasus diduga dipicu infeksi virus—misalnya virus herpes simpleks. Faktor lingkungan juga bisa berperan, seperti paparan angin malam, suhu dingin, atau kondisi tubuh yang sedang tidak fit. Dokterku menduga, aku terkena virus saat menonton pertunjukan teater terbuka di malam hari.
Kabar baiknya, sebagian besar kasus Bell's Palsy bisa pulih dengan penanganan yang tepat. Obat-obatan, fisioterapi wajah, serta perlindungan mata biasanya menjadi bagian dari terapi.
Perlindungan mata diperlukan karena kelopak sering sulit menutup rapat, sehingga perlu tetes mata atau penutup saat tidur agar tidak kering dan iritasi. Semakin cepat penanganan dimulai, semakin besar peluang wajah kembali normal.
Jejak Bell's Palsy yang Tersisa
Hari-hari setelahnya berjalan pelan, penuh terapi dan doa. Wajahku membaik, senyum kembali muncul, dan cermin tidak lagi terasa menakutkan.
Meski begitu, ada jejak yang tersisa: guratan halus di dekat hidung, dan garis samar di sudut mulut yang tampak tertarik ke bawah. Guratan ini akan lebih jelas terlihat ketika kondisiku sedang tidak fit.
Perubahan juga terjadi di mataku. Saat Bell's Palsy datang, kelopak mata kanan sulit menutup rapat. Mata kiriku pun bekerja lebih keras untuk menunjang kerja mata kanan.
Hasil pemeriksaan akhir menunjukkan bahwa mata kiriku kini mengalami silinder empat. Luka di satu sisi ternyata meninggalkan luka lain di tempat yang berbeda.
Hikmah dari Perjalanan Bell's Palsy
Dari perjalanan singkat, tetapi dalam ini, aku belajar.
- Sinyal kecil tubuh layak didengar:Â Kebas yang awalnya kuabaikan, ternyata adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
- Meminta bantuan bukan kelemahan: Bertahan di IGD, meski sempat ditolak, justru menyelamatkanku.
- Menerima diri adalah bagian dari penyembuhan: Wajah yang tidak lagi sepenuhnya simetris tetap bisa memancarkan senyum.
Pada akhirnya, pelajaran itu membawaku menatap sesuatu yang lebih dalam. Perjalanan hidup akan memberikan penanda—jeda.
Belajar dari Jeda Kehidupan
Kadang kehidupan memberi jeda lewat cara yang tak pernah kita bayangkan. Bagiku, jeda itu muncul lewat perubahan mendadak pada wajah dan mata—bermula dari rasa kebas yang sepele.
Kini, setiap kali bercermin, aku tidak hanya melihat wajah dengan guratan samar. Aku melihat seseorang yang pernah goyah, tetapi memilih bertahan.
Aku melihat diri yang belajar merawat, menerima, dan tetap tersenyum—meski dengan wajah yang berbeda dari sebelumnya.
Bagi orang lain, mungkin guratan itu tak terlihat. Namun, bagiku, ia adalah penanda: tubuh pernah rapuh, wajah bisa berubah seketika, dan setiap luka meninggalkan jejaknya.
Bell's Palsy mungkin terdengar hanya sebagai istilah medis. Bagiku, ia adalah cerita tentang keberanian, jeda, dan pengingat bahwa tubuh pun punya cara sendiri untuk berkata: "Berhentilah sebentar, dengarkan aku."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI