Ia putuskan untuk tetap melangkah sendirian. Bukan karena tidak ada kesempatan, melainkan karena keyakinan di dalam hatinya. Aku masih ingat ketika ia berkata dengan suara lembut, tetapi tegas—seolah menandai pilihannya untuk bertahan sendiri.
"Aku takut tidak menemukan orang sebaik almarhum. Aku tidak ingin anak-anak tidak disayangi seperti ayah kandungnya menyayangi mereka."
Kalimat itu begitu dalam. Tidak hanya tentang kerinduan pada sosok suami yang telah pergi, tetapi juga tentang cintanya pada anak-anak.
Ia rela mengorbankan kemungkinan hidup lebih mudah demi memastikan mereka tetap mendapat kasih sayang penuh, tanpa harus berbagi dengan figur baru yang belum tentu memahami.
Ucapannya tenang, tanpa keraguan. Sosoknya yang cenderung pendiam, tetapi ramah justru memperkuat kesan itu. Ada kelembutan dalam kata-katanya, tetapi juga ketegasan yang tak bisa digoyahkan.
Senyum kecil yang mengiringinya seolah menegaskan keyakinan: ia sudah berdamai dengan pilihannya, dan siap menanggung segala konsekuensinya.
Di situlah letak keberanian sebenarnya: memilih kesendirian demi menjaga hati anak-anak tetap utuh.
Di balik pintu rumah yang tampak biasa, seorang ibu tunggal bisa menenun keajaiban: mengubah kehilangan menjadi kekuatan, dan cinta menjadi warisan.
Perjuangan Seorang Ibu
Sejak saat itu, hari-harinya dipenuhi dengan peran ganda. Ia bekerja sebagai guru TK—pekerjaan yang menuntut kesabaran dan kasih sayang yang tinggi.
Karena penghasilan dari sana tidak selalu cukup untuk menutupi semua kebutuhan, ia menambah tenaga dengan berjualan produk kesehatan melalui sebuah MLM.
Ia pun dengan sadar memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Islam, agar mereka memiliki fondasi agama yang kuat. Ia merasa, karena sosok ayah sudah tiada, pegangan spiritual perlu menjadi penopang hidup mereka.