Polemik royalti musik beberapa waktu terakhir sempat membuat sejumlah kafe dan tempat hiburan kehilangan denyutnya. Musik berhenti mengalun, suasana menjadi sunyi. Para pengelola ketakutan: jangan-jangan kalau salah memutar lagu, akan ada tuntutan.
Situasi yang mestinya sederhana berubah jadi kompleks. Padahal musik adalah pengisi ruang hidup, yang seharusnya mendekatkan, bukan menjauhkan.
Pada 27 Agustus 2025, ruang rapat DPR mendadak penuh sorot perhatian. Bukan karena isu politik, melainkan karena sesuatu yang menyentuh kehidupan kita sehari-hari: musik.
Para musisi, pencipta lagu, penyanyi, dan wakil rakyat duduk bersama membicarakan masalah royalti yang belakangan memicu kegaduhan hingga membuat sejumlah kafe sunyi, takut dipungut biaya yang tak jelas dasar hukumnya.
Suara dari Panggung dan Balik Layar
Di tengah diskusi yang seru, satu suara terdengar jernih. Melly Goeslaw—yang hadir bukan hanya sebagai pencipta lagu, tetapi juga penyanyi—menyampaikan pandangan yang begitu manusiawi.
Ia berkata, "Saat lagu dinyanyikan, effort keras ada di penyanyi, sementara pencipta bisa saja di rumah. Kalau tata kelola baik, sebenarnya yang paling untung adalah pencipta lagu karena sampai kapan pun akan mendapat royalti. Berbeda dengan penyanyi yang akan terbatasi oleh usia."
Pernyataan itu sejalan dengan keresahan BCL. Ia menuturkan bahwa tidak mudah mengenalkan sebuah lagu baru, mulai dari bernyanyi di radio-radio hingga tampil di televisi.
"Harus ada batasan jelas soal pelarangan menyanyikan sebuah lagu, jangan hanya karena like or dislike. Sebagai penyanyi yang memopulerkan lagu, bagaimana perlindungan untuk kami?"
Kalimat-kalimat itu sederhana, tetapi menggugah. Ia membuka mata kita bahwa musik lahir dari kerja bersama. Pencipta lagu memang fondasi—tanpa mereka tak ada karya yang bisa dinyanyikan.
Namun, penyanyi adalah jembatan yang membuat lagu itu hidup, merasuk ke hati pendengar, bahkan menjadi bagian dari kenangan banyak orang.
Di titik inilah tampak ketidaksetaraan waktu dan tenaga antara penyanyi dan pencipta lagu yang perlu kita lihat dengan hati.
Suara Melly ini penting untuk direnungkan. Ia berada di dua sisi sekaligus, menyaksikan langsung bagaimana musik bekerja dari balik kertas hingga ke panggung.
Karya yang Tak Lekang Usia
Melly berani mengatakan ini karena ia paham betul dua dunia. Sebagai pencipta lagu, ia tahu betapa istimewanya hak cipta: karyanya tak lekang oleh usia dan bisa terus menghasilkan royalti bahkan setelah penciptanya tiada.
Namun sebagai penyanyi, ia juga merasakan batasan yang nyata: suara yang bisa menua, stamina yang bisa habis, tren yang bisa berubah. Ada kelelahan fisik, ada risiko kesehatan, ada keterbatasan waktu.
Perspektif ganda inilah yang membuat pernyataan Melly terasa seimbang dan jujur. Ia tidak sedang membela salah satu pihak, melainkan mengingatkan bahwa polemik ini seharusnya tidak perlu terjadi bila tata kelola dilakukan secara transparan.
Benar. Seandainya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menjalankan tata kelola berjalan jujur, jelas, dan akuntabel, para musisi tidak perlu menghabiskan energi untuk saling curiga.
Mereka bisa kembali ke hal yang paling hakiki: memberi kita musik, yang menyembuhkan dan menemani hidup sehari-hari.
Transparansi ini penting karena setiap rupiah royalti yang diterima bukan sekadar angka, melainkan nafkah: untuk penyanyi senior yang butuh biaya berobat, untuk pencipta yang ingin menyekolahkan anak, atau untuk keluarga musisi yang berharap hidup lebih tenang.
Harapan itu juga disampaikan dalam rapat konsultasi bersama pada 21 Agustus 2025. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan bahwa polemik royalti akan diselesaikan dalam waktu dua bulan.
Penegasan lanjutan datang dari Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Dewi Asmara, melalui unggahan pada 25 Agustus 2025 di akun Instagram resmi @tvr.parlemen serta akun pribadinya.
Ia menyatakan bahwa revisi UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta akan dikebut dalam waktu dua bulan, bertujuan memperjelas mekanisme penarikan, distribusi, dan pengawasan royalti agar tidak lagi menimbulkan kegaduhan.
Janji ini penting dicatat—setidaknya memberi arah jelas bahwa masalah ini tidak dibiarkan berlarut-larut.
Janji Harmoni dari Senayan
Pertemuan 27 Agustus itu memperlihatkan wajah lain dari musik Indonesia. Ada perdebatan, ada interupsi, bahkan ada ketegangan yang sempat membuat suasana riuh. Namun, di balik itu semua, kita menyaksikan sesuatu yang berharga: kemauan untuk duduk bersama.
Dari sana kita bisa belajar. Musik, sejatinya, adalah tentang kebersamaan. Satu lagu baru bisa hidup ketika pencipta, penyanyi, pemusik, dan pendengar saling melengkapi.
Wajar bila persoalan royalti pun harus diselesaikan dengan cara yang sama—bukan dengan saling menjatuhkan, melainkan dengan mendengar satu sama lain dan mencari titik temu.
Sebagai penikmat musik, kita pun punya bagian. Ketika kita mendukung transparansi royalti, kita sebenarnya sedang menjaga agar ekosistem musik tetap sehat.
Kita sedang memastikan bahwa lagu-lagu yang menemani hari-hari kita tidak lahir dari jerih payah yang diabaikan, melainkan dari kerja yang dihargai secara layak.
Pada akhirnya, perdebatan ini tidak hanya bicara soal hukum, tetapi tentang manusia; tentang suara yang menua, karya yang abadi, dan nafkah keluarga yang berhak hidup tenang.
Melly Goeslaw seolah mengingatkan kita bahwa apa pun perbedaannya, selama ada kemauan untuk duduk bareng, huru-hara bisa berubah menjadi harmoni dan kafe kembali bernyanyi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI