Mohon tunggu...
Ditta Widya Utami
Ditta Widya Utami Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

A mom, blogger, and teacher || Penulis buku Lelaki di Ladang Tebu (2020) ||

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

[Pendidikan] Guru, KPK, dan Bimbel

13 Januari 2019   07:20 Diperbarui: 13 Januari 2019   08:05 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa sedang belajar di lingkungan sekolah, sesuatu yang bisa jadi tidak didapatkan dalam bimbel. (Foto: Dokpri)

Jumat (11/1/2019), Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (BEM REMA UPI) periode 2011, Ali Mahfud, melontarkan bahan diskusi "KPK Sorot Guru yang Membuka Bimbingan Belajar (Bimbel)" di WA Group yang penulis tergabung didalamnya.

Sebelumnya, pada hari Selasa (8/1/2019), Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, bertemu dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikud), Muhadjir Effendy. Salah satu hal yang disinggung dalam pertemuan itu adalah pendidikan antikorupsi serta prinsip integritas yang berhubungan dengan bimbingan belajar dari guru (Kompas, 8/1/2019).  

Terkait hal tersebut, secara garis besar muncul dua tanggapan di grup BEM REMA UPI 2011 : (1) Setuju jika guru yang membuka bimbel disorot KPK, dan (2) Munculnya bimbel justru memberikan gambaran kegagalan proses belajar mengajar di kelas. Penulis sebagai praktisi pendidikan juga ikut bersuara menanggapi dua pernyataan tersebut.

Tidak Mengapa Jika Guru Disorot KPK

Pada statement ini, tanggapan berkembang menjadi khusus guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) dan yang sudah mendapat tunjangan sebaiknya tidak membuka bimbel. Artinya, anggota grup masih meridhoi jika ada guru non-ASN yang membuka bimbel (dengan harapan guru tersebut tetap bersikap objektif). Hal ini menunjukkan anggota grup juga sadar bahwa adanya bimbel bisa jadi berkaitan dengan kesejahteraan guru non-ASN, terutama yang mengajar di sekolah negeri.

Jangankan rakyat, bahkan sekelas presiden pun sempat tidak percaya jika masih ada guru yang penghasilannya Rp 300-400 ribu per bulan. Fakta tersebut presiden dapatkan saat menerima Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), di Istana Presiden sebagaimana diberitakan Kompas.com, Jumat (11/1/2019).  

Larangan membuka jasa les sebenarnya telah digulirkan oleh Mendikbud sejak 2016. Namun, jika mengacu pada UU No 20 Tahun 2003, pendidikan nonformal (seperti bimbel) justru legal. Aturan yang melarang guru membuka bimbel memang masih bias. Tidak ada larangan eksplisit bagi guru untuk membuka bimbel baik dalam Kode Etik Guru, UU Pendidikan Nasional maupun UU Guru dan Dosen.

Oleh karena itu, sah-sah saja bagi guru jika ingin membuka bimbel kecuali bila terdapat perjanjian kerja antara guru dan pihak sekolah. Menurut Christine Natalia Musa Limbu, S.H., dalam Klinik Hukum, hal ini sesuai Pasal 1338 alinea ke-1 KUH Perdata yang berbunyi, "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."

Penulis sepakat bahwa adanya bimbel berpotensi pada menurunnya objektivitas guru dalam menilai. Oleh karena itu, kunci utamanya terletak pada integritas dan profesionalitas guru untuk tetap bersikap objektif. Jangan sampai ada anak pintar, namun karena tidak ikut bimbel, nilainya menjadi kecil. Selama guru masih bisa objektif dan profesional dalam menilai, tidak mengapa membuka bimbel. Namun, jika belum mampu, sebaiknya bimbel terbatas bagi siswa yang tidak menjadi murid guru bersangkutan di sekolah.

Adanya Bimbel Merupakan Indikasi Gagalnya Proses Belajar Mengajar di Kelas

Di statement kedua, penulis berada di pihak oposisi karena klausa "gagalnya proses belajar mengajar di kelas" memiliki makna yang terlalu luas. Faktanya, ada beberapa guru yang membuka bimbel justru untuk memfasilitasi peserta didik dengan kemampuan di atas rata-rata sehingga mereka bisa lebih mengeksplorasi kecakapannya masing-masing.

Selain itu, berdasarkan pengalaman penulis mendidik selama enam tahun, ada banyak sekali faktor yang dapat memengaruhi gagalnya proses belajar mengajar di kelas, antara lain:

Pertama, kasus broken home. Perceraian orang tua, kekerasan terhadap anak, kurangnya kasih sayang karena orang tua sibuk bekerja merupakan hal-hal yang dapat membuat anak kurang fokus saat belajar di kelas, membuat anak menjadi suka mencari perhatian dengan menjahili teman atau membuat keributan saat jam pelajaran berlangsung.

Kedua, pacaran dan pergaulan. Zaman sekarang, anak SD saja sudah ada yang pacaran dan bilang sayang sayangan. Pikirannya sudah terbagi apalagi kalau sedang ribut dengan pacar, diputusin atau ada orang ketiga. Di kelas anak jadi melamun, di media sosial ribut status, di rumah pun tidak belajar.

Ketiga, banyak anak yg masih belum lancar calistung (membaca, menulis dan menghitung). Perkalian under 10 saja mikirnya kadang lama sekali. Efek tuntutan masuk SD harus bisa baca (sepertinya) sehingga anak tidak betul-betul dibimbing bagaimana memproses perkalian, penjumlahan, pembagian, pengurangan, membaca, mengeja, keterampilan-keterampilan dasar yang bahkan dibutuhkan oleh seorang profesor. Kurangnya kemampuan dasar ini juga jadi salah satu penghambat dalam proses pembelajaran di kelas.    

Keempat, game dan keadaan ekonomi. Penulis beberapa kali pernah menangani kasus anak-anak yang enggan sekolah karena sudah kecanduan game online. Penulis juga pernah menangani anak-anak yang hanya karena tidak dibelikan handphone atau motor oleh orang tua (karena keadaan ekonomi yang terbatas), lantas mereka mogok sekolah.

Memang betul, kurang efektifnya pembelajaran di kelas bisa menjadi salah satu faktor bagi guru untuk membuka jasa bimbel. Namun, perlu disadari bahwa faktor gagalnya proses belajar mengajar di kelas tidak hanya berasal dari pihak sekolah. 

Jika orang tua/wali, komite dan pihak sekolah bekerja sama, bukan tidak mungkin jika pembelajaran di kelas akan jauh lebih dari cukup tanpa harus ada bimbel lagi.

 Bagi guru, jangan sampai pelit ilmu jika membuka bimbel. Beberapa informasi sengaja disembunyikan saat pembelajaran di kelas, sementara saat bimbel dibuka blak-blakan. 

Tetaplah bersikap adil sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 UU No 20 Tahun 2003 tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan yang berbunyi, "Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun