Mohon tunggu...
Dita putri
Dita putri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Motivasi tanpa aksi hanyalah imajinasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Antara Janur dan Jemari Kosong

6 Juli 2025   14:23 Diperbarui: 6 Juli 2025   14:23 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tibalah hari itu, hari dimana engkau bahagia bersama pilihanmu, sementara aku masih diam termenung menatap wajahmu. Hari itu, aku berdiri di antara para tamu yang rapi dan wangi. Musik dangdut mengalun dengan sendirinya, dan janur kuning melambai di gerbang masuk dengan bangganya. Aku melangkah dengan pelan, tapi pasti untuk menunjukkan bahwa aku baik-baik saja, karena kenyataannya tidak semudah itu, tapi janur kuning sudah melambai sehingga aku tidak perlu menangis dengan bodohnya. Di pelaminan, mereka tampak bahagia. Dia dengan senyum yang dulu pernah membuatku merasa bahagia, dan perempuan di sampingnya, dengan gaun putih dan riasan diwajahnya yang indah. Keduanya tampak serasi.

"Ternyata, mengikhlaskan seseorang yang sudah lama menetap di hati, tidak sesederhana membalik halaman ya, haha" batinku mencoba tertawa, meski rasanya hambar.

Tidak lama setelah menyantap hidangan yang disediakan, aku segera berdiri untuk bersalaman. Rasanya semakin lama aku di sini, semakin sesak ruang yang kutempati. Langkahku menuju pelaminan terasa berat, seperti ada beban yang menumpuk di dada. Hatiku terasa ngilu, dan mataku mulai memanas, seolah siap mengalirkan sesuatu yang sejak tadi kutahan dengan paksa. Aku berusaha tegar dan memasang senyum seperlunya. Tapi tidak bisa kupungkiri, ada bagian dari diriku yang masih belum siap untuk ini.

Dia berdiri di sana, mengenakan setelan jas hitam dengan gagahnya, dan dulu sempat kubayangkan ia akan pakai dan bersanding bersamaku. Perempuan di sampingnya tampak anggun dengan gaun putih yang menjuntai dan tidak lupa senyum yang menghiasi wajahnya.

"Selamat ya, semoga sakinah, mawaddah, warahmah" ucapku tulus sembari tersenyum kepadanya. Ia membalas uluran tanganku, menggenggam sebentar dengan hangat.

"Terima kasih untuk doanya, Ra" balasnya dengan senyum yang masih sama seperti dulu. Mata itu menatapku sejenak seolah menyimpan sesuatu yang tak terucap. Bukan rindu, bukan penyesalan, hanya diam yang sempat akrab di antara kami. Aku menahan napas sekian detik, lalu segera mengalihkan pandangan ke perempuan di sampingnya. Aku ulurkan tangan dengan senyum yang sama tulusnya.

"Selamat ya, semoga kalian langgeng sampai maut memisahkan"

Mereka mengangguk bersamaan. Aku berpaling pelan, menuruni pelaminan, lalu berjalan lurus tanpa menoleh lagi.

Aku tidak bisa mengubah takdir seseorang. Jika sesuatu sudah ditetapkan oleh Tuhan, aku bisa apa?

Beberapa hari setelahnya, aku memutuskan untuk kembali ke kota tempatku menempuh pendidikan. Perjalanan panjang di dalam bus tidak membuatku lelah secara fisik, tapi pikiranku sibuk merapikan sisa-sisa perasaan yang tertinggal dari hari itu. Aku kembali bukan hanya untuk melanjutkan kuliah, tapi juga untuk merapikan pikiranku, menghapus kenangan yang masih tersisa, dan perlahan melepaskan kesedihan yang sempat tinggal terlalu lama.

Cukup sampai di sini kisah antara kita. Aku dan kamu, seperti janur dan jemari kosong, kamu bersama separuh hidupmu dengan penuh kebahagiaan dan aku dengan seutuh hidupku dengan kekosongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun