Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Seolah menyetujui harapan yang belum bisa kusanggupi.
"Akan aku usahaka, tapi bukan sekarang. Bukan dalam waktu dekat" batinku.
Jemariku masih kosong, dan hatiku masih sibuk mengejar mimpi yang belum selesai. Di tengah dunia yang berlomba menuju pelaminan, aku masih ingin menyelesaikan perjalanan lain yang belum selesai, menjadi versi diriku yang utuh, sebelum menjadi milik siapa pun.
Keesokan paginya, aku kembali menjalani aktivitas seperti biasa. Aku adalah seorang "pengacara" atau pengangguran banyak acara, yang saat ini menjabat sebagai mahasiswa tingkat akhir. Gelar tidak resmi itu kudapat sejak mulai sibuk dengan urusan skripsi yang tak kunjung selesai, sekaligus masih sempat menghadiri undangan demi undangan pernikahan. Saat ini aku sedang berlibur di rumah, memanfaatkan waktu pulang kampung yang langka. Aku kuliah jauh dari kampung halaman, dan perjalanan pulang hanya bisa kulakukan setahun sekali itu pun setelah menimbang berat di ongkos. Harga tiket bus maupun pesawat tidak pernah mau kompromi dengan dompet anak kos.
"Dara, ada undangan buat kamu!" teriak Ibu dari ruang tengah, suaranya menggema memenuhi seisi rumah kecil ini.
Dengan langkah cepat, aku berlari menghampirinya. Sebuah undangan berwarna biru muda berada di tangannya. Aku menerimanya, dan pandanganku langsung tertuju pada nama besar yang tercetak jelas di sana. Seketika, dunia seperti diam.
Namamu.
Aku menghela napas panjang, jemariku gemetar ringan saat menyentuh huruf demi huruf yang dulu begitu akrab di kepala dan hatiku.
"Huh..." desahku pelan. "Ternyata hanya aku yang masih mengharapkanmu. Kukira, setelah tiga tahun yang telah kita lalui, ada yang tertinggal di hatimu, seperti aku yang masih menyimpan sisa-sisanya di sini" dengan pelan, kubaca isi undangan itu, setiap kata seperti mengetuk kenangan yang berdebu. Pandangan mataku jatuh pada foto yang terpampang nyata di sana, kau berdiri di samping seseorang, dengan senyum bahagia seolah tidak ada beban. Tanpa sadar, butiran tanpa warna jatuh dari pelupuk mata. Tak bersuara, tak gaduh, hanya diam yang menyesakkan.
Pupus sudah
Segala kemungkinan yang dulu kupeluk erat kini menguap bersama tinta nama di atas undangan itu. Ternyata, tak semua yang diperjuangkan berujung di pelaminan, dan tak semua perasaan yang tulus cukup untuk membuat seseorang tinggal.