Darah segar mengalir dari kakinya, Lea menatap Ayahnya dengan tatapan sendu berharap agar Ayahnya membantunya. Tetapi nihil, Ayahnya hanya berdiri di ambang pintu, memandangnya tanpa rasa, menyaksikan putrinya meringis kesakitan, tanpa sedikit pun niat untuk menolong.
"Yah, Lea ga kuat" ucap Lea pelan, suaranya hampir sama dengan bisikan angin.
Ayahnya yang mendengar suara samar itu perlahan menghampiri. Ia berjongkok di depan Lea bukan untuk menolong, melainkan mencengkeram kedua pipi Lea dengan kasar. Tatapannya dingin, tajam menusuk. "Tidak usah hidup kau! Tidak ada yang mengharapkanmu di dunia ini" balas Ayahnya dengan penuh kebencian. Ayahnya mendaratkan pukulan lagi di hidungnya.
 "Lea bukan hidup Yah, Lea cuma bertahan" lirihnya nyaris tak terdengar, sembari menyeka aliran kental berwarna merah yang merembes dari hidungnya. Entah sudah keberapa kali pukulan yang mendarat di tubuhnya, Lea bahkan tak sempat menghitung rasa sakitnya lagi. Disaat seperti ini ia selalu berkutat dengan pikirannya "Mengapa Ayahnya selalu memukulnya? Mengapa tidak ada kasih sayang Ayahnya untuk dirinya?"
Ayahnya berdiri, bersiap meninggalkan Lea yang masih tergeletak. Namun tiba-tiba, dengan sisa tenaga yang tersisa, Lea meraih kaki Ayahnya dan menggenggam erat. Matanya basah, suaranya lirih tapi jelas, menyayat. "Yah, Lea tidak tau kenapa Ayah sangat membenci Lea, Lea juga sering bertanya-tanya kenapa Ayah selalu memukul Lea" ucapnya dengan nafas terengah. "Tapi sekarang Lea tidak mau bertanya itu lagi kok" ia menarik nafas dalam-dalam, meski terasa berat. "Lea cuma mau minta maaf sama Ayah kalo selama ini Lea menyusahkan Ayah, Lea udah tidak kuat, dada Lea sesak" ucapannya terputus-putus.
Ia terdiam sejenak dan tersenyum manis seolah tidak ada lagi beban yang ia tanggung, "Terima kasih Yah, Lea pamit, jaga diri Ayah ya saat Lea sudah tidak ada, Lea sayang Ayah" ucapnya lembut. Kata-kata itu menjadi yang terakhir, suaranya menghilang, bersamaan dengan detak nadinya yang perlahan berhenti. Sunyi menyelimuti, terhenti bersamaan dengan nadinya.
Ayahnya terdiam, dadanya sesak seperti ada sesuatu yang menghambat. Tanpa sadar air matanya turun membasahi pipinya, air mata yang tidak pernah ia harapkan kehadirannya. Dengan segera Ayahnya memegang tangan Lea dan mengecek nadinya, diam tidak ada pergerakan, yang artinya sudah tidak ada kehidupan. "Maaf" satu kata terlontar dari mulut Ayahnya. Tetapi terlambat, semuanya sudah berakhir, tidak ada yang perlu disesali dari kata terlambat. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI