Mohon tunggu...
Dita putri
Dita putri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Motivasi tanpa aksi hanyalah imajinasi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gerhana di Atas Bulan

24 April 2025   21:06 Diperbarui: 24 April 2025   21:06 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiupan angin yang lembut menyelinap di antara senyapnya suasana malam, membelai pelan setiap sudut yang sunyi, dihiasi dengan taburan bintang dilembaran hitam yang selalu menampakkan bentuknya setiap waktu. Waktu menunjukkan pukul 23.40 yang artinya hari sudah larut, waktunya orang-orang bersiap menuju alam mimpinya.

"Dasar anak bodoh! Aku menyuruhmu untuk menjual kesedihan saja kau tidak pecus!" hardik seorang lelaki tua, jenggotnya separuh memutih, suaranya tajam dan penuh amarah. Dengan gerakan kasar, ia merampas kantung kecil berisi uang recehan dari tangan gadis mungil di depannya, yang hanya bisa menatapnya tanpa kata.

Gadis itu tak menjawab sepatah kata pun. Matanya kosong, menatap nanar ke arah lelaki di hadapannya. Bagi dirinya, ini bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. Setiap kali pulang dengan uang yang tak seberapa, ia selalu disambut dengan amarah. Dimarahi, dibentak, dipukul, dihina bahkan nyaris dibunuh sudah menjadi santapan hariannya. Seolah-olah derita adalah satu-satunya bahasa yang ia pahami dari rumah.

"Bisu kau! Mau aku pukul lagi?!" teriak lelaki itu, matanya melotot seperti kelereng yang nyaris copot dari tempatnya. Suaranya menggema, membelah keheningan malam, seolah amarahnya tak pernah habis.

Gadis itu menghela napas pelan, lalu tertawa pahit dan lelah. "Pukul saja, Yah, Lea capek" ucapnya lirih. "Bahkan kalau Lea mati pun, Ayah tidak akan peduli, kan?" lanjutnya sembari meneteskan air mata.

"Dasar anak tak tahu diuntung!" bentaknya lagi, kali ini lebih keras. Tangannya melayang tanpa ampun, memukul Lea berkali-kali. Tubuh mungil itu limbung, tapi tetap berdiri, menahan sakit yang sudah terlalu akrab.

"Kalau bukan karena aku, kau sudah mati dari dulu! Aku yang memberimu makan! Aku yang buat kau tetap hidup!" lanjut lelaki itu dengan suara meledak-ledak, sebelum akhirnya mencengkeram kedua pipi Lea dengan kasar, memaksa gadis itu menatap langsung ke matanya.

Cengkraman tangannya begitu kuat hingga kulit Lea memerah, lalu menghempaskannya dengan kasar dan meninggalkan Lea seolah tidak peduli dengan keadaannya. Mata Lea memerah sembari menatap punggung ayahnya dengan hampa, seolah rasa sakit sudah menjadi rumahnya. Dengan pandangan kosong Lea bergumam. "Mending Lea mati dari dulu Yah, Lea ga kuat kalo setiap hari seperti ini" lirihnya nyaris seperti gumaman yang ditelan angin malam. Udara dingin menerpa kulit penuh lebam dan luka Lea, menusuk pelan seperti ingin menambah nyeri yang belum sempat reda. Jika bagi orang lain malam selalu memberikan ketenangan, namun  bagi Lea malam selalu memberi luka dan siksa. Ia suka dengan gelapnya malam, baginya sama dengan hadirnya di dunia ini yaitu untuk tidak terlihat.

Lea melangkahkan kakinya pelan ke dalam rumah sembari menyeka air merah disudut bibirnya. Ia membasuh mukanya yang penuh luka, air yang mengalir di lukanya bahkan seperti alunan melodi,  tidak ada rasa sakit dan perih.

Keesokan harinya, Lea menjalani hari seperti biasa. Pagi-pagi, bahkan sebelum matahari sempat membuka matanya, ia sudah melangkah pergi mencari uang sembari membawa botol bekas ditangannya, dengan senyum palsu yang setia menempel di wajahnya. Sesampainya ditempat ia langsung duduk termenung, matanya memperhatikan lalu lalang kendaraan.

"Hufttt, mau sampai kapan Lea seperti ini ya Tuhan? Lea capek, Lea butuh sandaran, butuh kasih sayang" lirihnya, hampir seperti doa yang tercekat di tenggorokan. Bahkan air mata saja sudah enggan keluar dari pelupuk matanya, seolah sudah lelah untuk melintas dipipinya. Beberapa saat berlalu, tapi botol bekas yang ia pegang masih kosong, tidak ada satu pun orang yang memberi. Lea menghela nafas kasar, dipikirannya seolah dunia menutup mata dan tidak peduli akan kehadirannya, tidak peduli akan luka dan jeritnya selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun