[caption id="attachment_240132" align="alignnone" width="300" caption="Gula Asem"][/caption]
Segelas gula asam hangat sungguh menyegarkan terasa. Mereka bilang, minuman ini berguna sebagai obat sariawan dan pereda batuk. Vitamin A, kalsium dan vitamin C banyak terkandung di dalamnya. Meski demikian, buat penggemarnya tak membutuhkan banyak penjelasan karena cukuplah ia sebagai pelepas dahaga.
Di tanah Jawa, buah asem tumbuh liar di pinggir jalan. Untuk itulah disebut juga asem jawa. Pohon itu juga sebenarnya tumbuh liar menyebar di hutan-hutan seluruh Indonesia. Pohonnya berkayu dan berkambium, dengan daun-daun kecil halus mirip petai cina. Pohon asem berfungsi sebagai peneduh di sepanjang jalan raya Deandels dari Anyer hingga Panarukan.
[caption id="attachment_240134" align="alignnone" width="300" caption="Pohon asem"]

Pohon asem yang bernama latin Tamarindus indica memiliki buah yang rasanya masam. Buah yang mentah biasa digunakan sebagai perasa bagi aneka masakan di Indonesia.
Meskipun telah masak, rasanya tak berkurang keasamannya. Namun jika ia direbus atau diseduh dengan paduan sepotong gula merah akan menghasilkan minuman yang amat menyegarkan.
Ditilik dari tanah asalnya, si gula merah dikenal memiliki nama marga yang sama dengan asem tadi : gula jawa.
Dan berbicara tentang gula jawa, kita akan mendapati banyak cerita tentangnya.
Tentang para lelaki desa di sebuah pedesaan di pinggir pantai pada umumnya. Tiap pagi mereka menapaki tataran pohon nyiur hingga ke pucuknya. Sebuah pisau tajam mengiris ujung bakal buah kelapa yang disebut ‘mancung’, dan meneteslah air keruh yang bernama “legen” atau nira. Nira itu ditampung seruas bambu berbentuk tabung yang telah disiapkan. Tabung itu umumnya diberi tali yang berfungsi sebagai pengikat ke tubuh para “dewan” sebutan pekerjaan aktifitas memungut nira, dan lalu sebagai pengikat ke dahan kelapa saat tabung dibiarkan seharian di atas sana.
Para pria tua dan muda setia memanjat dari satu pohon ke pohon lain. Tentu saja tak satu warga pun yang dijangkiti fobia ketinggian. Bekerja di ketinggian itu adalah keahlian turun temurun, dari generasi ke generasi.
Siang mereka ke sawah ladang bercocok tanam atau merumput untuk ternak sapinya yang sebagian kandangnya berbatasan dinding dengan tempat tidur. Sebagian lagi terpisah beberapa meter di halaman luas yang ditumbuhi pohon-pohon melinjo yang tinggi menjulang. Otomatis di sela hari-harinya, produksi emping pun terlihat di rumah-rumah warga.
Warga pedesaan memaknai emping sebagai kerupuk berstrata tinggi. Maka jika seseorang mengadakan pesta pernikahan atau acara selamatan lain, hidangan emping goreng menjadi salah satu menu penghormatan. Termasuk menyumbang emping dianggap sebagai penghargaan. Karena harga per kilonya terbilang mahal untuk ukuran kantong mereka? Entahlah.
Kembali soal nira kelapa. Di sore hari mereka sekali lagi mengulang aktifitas di pagi hari. Kini mereka memunguti tabung-tabung yang dipenuhi air nira. Sebuah rizki yang disediakanNya di depan halaman, di depan mata.
Tugas berikutnya umumnya diambil alih oleh para ibu dengan memasaknya di tungku kayu. Sebuah penggorengan besar dengan kayu yang diambil dari pekarangan rumah telah siap merubah bentuk si nira menjadi adonan gula merah yang siap dicetak. Kayu bakar itu terdiri dari aneka ranting kering, sabut/kulit kelapa dan daun serta pelepah kelapa kering.
Untuk 10kg gula merah diperlukan 4-5 jam pengapian. Tentu butuh ketrampilan tangan untuk terus mengaduknya dengan segenap kesabaran.
Karena tradisi dan jam terbang yang tinggi, mereka akan tahu kapan adonan siap dicetak dalam batok-batok kelapa mengilat bersih yang berjajar rapi. Gula merah yang orisinil bisa dilihat dari warna kecoklatan yang alami, bukan kuning atau putih karena pewarna. Rasa legitnya yang khas, aroma yang pas menjadikan gula jawa terus diminati sepanjang jaman.
Seorang sahabat yang kini menetap di belahan bumi lain pun tak pernah lupa membawa gula jawa saat mudik untuk dibawa serta. Dari mulai menjadi teman si asem Jawa dalam segelas air seduhan, sebagai bumbu rujak, dan pemanis aneka masakan.
“Cita rasa khas yang tak tergantikan oleh gula manapun di dunia…” demikian alasannya.
Gula jawa, dengan rangkaian proses detail pembuatannya, selalu mendapat tempat di hati pecintanya, tak terkecuali saya :)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI