Mohon tunggu...
Pohon Kata
Pohon Kata Mohon Tunggu... Freelancer - Going where the wind blows

Ketika kau terjatuh segeralah berdiri, tak ada waktu untuk menangis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Damar Nusantara #4 (Pucuk Pinus)

4 April 2020   19:31 Diperbarui: 4 April 2020   20:01 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bag #1 Namaku Damar Nusantara

Bag #2 Mbok Yem

Bag #3 Bang Jenggo Yang Mencari Jalannya

"Aku ingin memeluk Bulan, biar gelapku terang... 

Namun, aku hanyalah Pungguk, yang hanya mampu hinggap di pucuk Pinus dan merindukannya"

Setelah percakapan dengan Bang Jenggo dan sedikit bahu membahu bersama simbok, melayani pesanan para pendaki... gelappun merayap disela-sela rintik hujan.

Dingin masih menghujam di sanubari, beberapa pendaki bergerombol di shelter beradu cerita dan berbagi asap rokok. Senyum, gelak tawa dan gestur bahagia masih tertangkap di sudut mataku. Entah...selalu saja ada kebahagiaan di Lawu.

Namun Bang Jenggo menyendiri, menikmati lamunanya dan bermain dengan hati... mungkin dihantui bayangan keluarga yang telah berpulang karena ego dimasanya disudut ruang ini.

"Damar...kalau ingin istirahat silahkan. Nanti simbok saja yang melayani seandainya ada yang pesan makanan atau minuman." suara simbok diujung telingaku.

"Ya mbok...mungkin selepas hujan nanti, saya ingin sekedar menghirup segarnya malam mbok, mau jalan - jalan disekitaran sini dan ke Hargo Dumilah ", jawabku dengan pelan.

"Baiklah...tapi hati-hati, jangan lupa bawa senter" kata simbok.

Aku berujar, "Nggih mbok"

Malam ini aku ingin ke puncak Hargo Dumilah, dataran tertinggi di Lawu dengan ketinggian 3.265 mdpl titik andalan para pendaki.

Jam tanganku menunjukkan pukul 22.15 WIB, diluar sana hujan berhenti namun masih saja dingin terasa. Aku bergegas membawa beberapa perlengkapan dan kumasukkan tas carierku. Beberapa makanan dan tak lupa tenda kubawa, hanya untuk berjaga jaga seandainya hujan turun lagi saat aku menuju Hargo Dumilah.

Kulangkahkan kakiku diantara gumam penginap yang masih terjaga.

"Damar...kau mau kemana?", teriak seseorang diujung sana.

Kutolehkan kepala, ternyata Bang Jenggo yang masih terjaga sambil rebahan.

"Ke Hargo Dumilah bang, mau ikut?" tanyaku.

"Sebentar...aku ikut serta", teriaknya dengan bergegas membawa perlengkapan.

Kamipun beranjak dari shelter, berdua menuju luar shelter.
Gelap sedikit temaram dengan adanya bulan yang melanglang malam.

Beriringan kami berjalan menelusuri rute menuju puncak ketinggian, sesekali kaki kami terantuk kerikil di sana sini. Nyala senterku menyibak gelap diantara pelan langkah kami.

Bang Jenggo bertanya, "Damar... kok jam segini kamu menuju puncak?"

"Iya bang...pingin saja, tadi saat tiba saya belum sempat ke ketinggian.", jawabku.

"Lain kali kalau berjalan malam ajak saya dong jangan sendirian, demi keamanan...kalau ada apa-apa denganmu bagaimana coba ?", tanya bang Jenggo sembari memperingatkan.

"Siyap bang...maaf" , balasku.

Hmmm...bang Jenggo yang baru kukenal tadi sore, ternyata punya rasa empati dan peduli tinggi. Mengkhawatirkan saya...orang yang baru dia kenal.

Seberes kami mengayunkan kaki, menembus gelapnya malam dan sedikit cahaya bulan...kamipun sampai di ketinggian Hargo Dumilah.
Sebuah tugu penanda dan bendera Merah Putih berkibar diatasnya.

Lintang Suminar....

Sepi, sunyi, dingin namun indah diatas langit sana. Rembulan bermain diantara ribuan bintang yang berpijar menemani malam ini... selepas hujan membasuh bumi.

"Bang sepertinya kita harus membuat tenda disini ya ?" tanyaku minta pertimbangan ke Bang Jenggo.

"Iya...biar nyaman kita menikmati pemandangan malam ini." tegas Bang Jenggo.

Bergegas saya membongkar perlengkapan, dengan cekatan Bang Jenggo membantu saya memasang tenda. Matras kami gelar didalam tenda dengan hati-hati.

"Kamu tadi bawa kopi apa tidak?", tanyanya.

"Bawa bang, memang sudah kupersiapkan untuk malam ini", kataku sambil mengulurkan termos kecil yang sudah berisi seduan kopi.

"Terima kasih" tukasnya

Dan kamipun mengobrol di depan tenda.

"Oh ya...kamu tadi siang belum jawab pertanyaanku" sela Bang Jenggo lagi.

"Pertanyaan yang mana bang?"

"Tentang apa kamu tidak sekolah atau kuliah tadi lo"

"O..itu bang? Hmmm...saya memang sengaja tidak kuliah bang entah nanti atau kapan masih belum terpikirkan mungkin setelah saya merasa cukup baru saya rencanakan. Sehabis lulus sekolah tingkat atas langsung memulai perjalanan ini" jawabku.

"Berarti kamu masih belum punya bekal ketrampilan?" tanya bang Jenggo lagi.

"Kebetulan waktu sekolah dulu saya sering mengasah ketrampilan bang, semisal kalau pas libur saya ikut di bengkel paman saya...membantu servis para pelanggannya. Saya juga sering otak atik barang-barang elektronika, dan yang pasti bang sampai detik ini saya juga menjadi seorang freelancer...kadang mengirim tulisan ataupun mengirim desain untuk dijual di beberapa situs website dan juga handphone saya ini saya gunakan untuk mengambil foto yang nantinya saya edit untuk dicoba dijual hasil fotonya, tapi sayang disini tidak ada sinyal ya bang. Alhamdulillah bisa menambah uang saku bang." jawabku lagi.

"Hmmm...bagus juga Damar" katanya

"Itu bang...didalam tas selalu kubawa laptop usang pemberian Bapak saya. Perjalanan saya inipun juga nantinya saya upload di blog...itung-itung sambil belajar menulis bang" imbuhku.

"Kamu sudah punya pacar atau belum?" pertanyaan bang Jenggo mulai membuat resah hati saya.

Beberapa detik mulutku terkatup, masih belum bisa menjawab pertanyaannya.

Bang Jenggo mungkin menyadari hal itu hingga dia berkata, "Sudahlah tidak harus kau jawab saat ini."

Akupun tersenyum dan mengangguk.

"Damar saya tak beristirahat dulu ditenda, besok pagi saat sunrise tolong saya dibangunkan ya" sela bang Jenggo lagi.

"Siap bang...saya tak menikmati pemandangan dulu."

Bang Jenggo bergegas memasuki tenda, menata badan dan mulai memejamkan mata.

Akupun masih terpaku didepan tenda, mengingat kembali pertanyaan bang Jenggo tentang pacar. Seakan mengingatkan memoriku yang tersusun rapi dilemari hatiku.

Lintang Suminar...sebuah nama yang telah menjadi cerita dan menemaniku diwaktu dulu disaat kami masih bersekolah di tingkat atas meskipun sekolah berjauhan, saya di Kediri lalu Lintang di Blitar. Cinta pertama yang masih membekas hingga kini.

Selain untuk belajar tentang hidup, perjalanan inipun sebenarnya sebuah perjalanan untuk melupakan dan juga mengikhlaskan Lintang.
Seorang yang sederhana, keras pendirian, cerdas dan manis hingga saya mengaguminya. Hingga kamipun menjalin hubungan hati, pacaran anak sekolah meskipun hanya lewat handphone.

Hmmm...itu masa lampau, masa yang pernah kujalani diantara hari-hari yang berganti.

Hingga suatu saat, ketika kata pisah muncul dariku.
Semua tangis membuncah, pertengkaran yang tiada sebab hingga terucap...

"Kita sebaiknya berpisah, akhiri hubungan ini. Seandainya Tuhan masih memberi kita kesempatan bertemu...aku Damar yang baru dan kamu Lintang yang baru pula, suatu saat mungkin takdir masih menyatukan" itulah kata terakhir yang terucap saat itu...diujung telepon.

Aku menghela nafas panjang...

Memikirkan Lintang...

Bagaimana kabarnya sekarang...

Baik-baik sajakah kau dimanapun berada...? 

Semoga tetap sehat...

Jangan menangis ...

Kita masih berteduh dibawah kolong langit yang sama...

Semoga Tuhan selalu menuntun langkah kita...

Hingga nanti....

Waktu dan takdir menyatukan...

Bersama bergandengan...


Malam ini...

Mataku menatap langit yang bertabur bintang...

Menatap bulan...

Seperti Pungguk...

Di Pucuk Pinus...

Yang merindukannya...

Dengan caraku...

(dn) yang selalu menyalakan mimpi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun