Mohon tunggu...
Murdiono Mokoginta
Murdiono Mokoginta Mohon Tunggu... Sejarawan/ Penulis Artikel/ Kolomnis

Penulis yang fokus pada riset-riset sejarah lokal terutama di wilayah Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tragedi Pembakaran Kotamobagu oleh Permesta September 1959

19 September 2025   18:00 Diperbarui: 19 September 2025   18:00 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana mencekam pembumi hangusan perkampungan penduduk saat perang  (Sumber: ChatGPT)

Pada awalnya Permesta masih menunjukan sikap baik terhadap masyarakat Bolaang Mongondow, belakangan setelah perang berlangsung mereka mulai menjarah harta benda rakyat untuk kebutuhan mereka... (Andatu Mokoginta)


Malam hari tanggal 14 September 1959 alam Kotamobagu mencekam. Ledakan mortir dan warna api menyala membakar rumah para penduduk. Angkasa gelap di malam itu menjadi seperti warna neraka yang membakar tidak hanya tubuh orang yang terpanggang di dalam rumah-rumah itu, tapi juga jiwa beserta harapan orang-orang Mongondow yang menginginkan rasa aman dan ketenangan akibat kobaran perang.

Seketika jeritan dan tangis memekik angkasa. Mayat-mayat berserakan di halaman rumah dan sepanjang jalan desa. Mereka mati ditembak para serdadu Permesta yang mulai beringas dan membunuh nyawa orang Mongondow yang tidak berdosa. Itulah sepenggal kisah yang dilihat oleh Andatu Mokoginta yang menceritakan kisah kelam hidupnya saat detik-detik pembumi hangusan Kotamobagu dan desa-desa di sekitarnya pada peristiwa pergolakan Permesta tahun 1959 (Andatu Mokoginta, wawancara 5 Mei 2016).

Orang yang paling bertanggung jawab pada peristiwa pembumi hangusan Bolaang Mongondow (Kotamobagu khususnya) adalah Dolf Runturambi yang mengambil inisiatif putus asa dengan membakar rumah-rumah penduduk asli. Keputusan ini kelak membuat orang Bolaang Mongondow menjadi antipati terhadap gerakan Permesta.

Pembakaran Kotamobagu telah menyisahkan cerita kelam yang sulit dilupakan oleh orang-orang Mongondow hingga saat ini. Berbeda dengan Minahasa yang menganggap Permesta bak pahlawan, bagi orang Mongondow Permesta adalah tentara yang kejam; membunuh, membantai, membakar rumah dan segala harapan mereka yang tersisa di antaranya harta kolektif masyarakat seperti komalig (istana) kerajaan di Kotamobagu, Bolaang, Molibagu menjadi bukti kekejaman. Harta kerajaan dan milik masyarakat tidak luput dari penjarahan yang terjadi pada saat itu.

Barbara Sillars Harvey dalam Permesta: Half a Rebellion (1984) menulis bahwa perkiraan rumah-rumah yang terbakar di wilayah Bolaang Mongondow pada saat tragedi September kelabu 1959 di angka 60%. Di Kotamobagu bahkan lebih parah, yang berdiri tinggal rumah sakit pemerintah. Sedangkan rumah di desa-desa hampir 85-90% dibakar dan dijarah termasuk beberapa masjid seperti di Desa Tabang dan beberapa tempat yang lain.

Apa yang melatari pembakaran masa itu disebabkan kekalahan pasukan Permesta di wilayah Bolaang Mongondow yang mulai terjadi pada kisaran Agustus-September 1959. Perhitungan (strategi) yang salah terhadap kemungkinan serangan TNI melalui jalan raya dari Inobonto menuju Kotamobagu ternyata tidak tepat.

Berdasarkan pengalaman di tempat lain, umumnya TNI memang melakukan serangan dengan mengandalkan senjata berat yang tentu harus melalui jalan raya. Permesta kemudian menghadang pasukan Bariwijaya yang datang dari Inobonto untuk memasuki Kotamobagu. Kekuatan utama Permesta di Kotamobagu pun kemudian dipusatkan  pada pertempuran di front Inobonto-Kotamobagu.

Namun yang tidak mereka sadari Divisi Siliwangi justru datang dari arah Selatan atas inisiatif dan perhitungan putra Bolaang Mongondow, Kolonel Ahmad Yunus Mokoginta seorang prajurit Siliwangi yang setia beserta beberapa pengawalnya yang menunjukan jalan kepada pasukan melalui jalur Ongunoi, Dumagin, Bulud Tagin, Bakan pada 7-14 September 1959. Di bawah Komandan Batalyon 330 Mayor S. Surya, pasukan TNI kemudian melakukan pendaratan senyap di 'Pantai Merah' Onggunoi.

Pendaratan di pantai dilakukan secara bertahap karena tidak memungkinkan bila dilakukan secara serentak. Hal itu karena minimnya alat pendaratan di sana untuk tempat berlabuh dua LCVP dan dua buah sloep bermotor dari kapal Hongkong Fir. Setelah pendaratan di pantai Onggunoi berhasil tanpa gangguan, Komandan Batalyon 330 Mayor S. Surya memerintahkan Pleton I/Kie B (330) di bawah Letnan II Sukanta untuk langsung membuka gerakan pembersihan di kampung Onggunoi yang menurut laporan penduduk setempat ada sekitar 6 orang prajurit Permesta yang setelah dilakukan pengerebekan memilih melarikan diri ke arah Tobayagan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun