Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan pribadi saya. Pengamatan ini bersifat reflektif terhadap kondisi sosial dan pendidikan di Indonesia, khususnya fenomena menurunnya adab pelajar yang kini semakin terasa di sekolah-sekolah.
Penurunan Adab Pelajar: Suara Nyaring dari Sekolah ke Masyarakat
Setiap guru pasti pernah mengeluh tentang perubahan perilaku siswa dari tahun ke tahun. Dulu, pelajar masih sungkan kepada guru, menunduk ketika lewat di depan ruang guru, atau meminta izin dengan sopan.
Kini, banyak yang berbicara sembari memainkan ponsel, menatap layar ketika guru sedang mengajar, bahkan membantah teguran dengan nada menantang. Fenomena ini bukan sekadar nostalgia orang tua terhadap masa lalu, ia nyata di depan mata.
Beberapa laporan pendidikan menunjukkan hal ini bukan persepsi belaka. Artikel Pikiran Rakyat mencatat bahwa kurangnya perhatian terhadap pendidikan moral di sekolah dasar dan menengah telah mempercepat penurunan adab dan etika siswa.
Sementara penelitian di Sumatera Utara oleh Jayapangus.Press menemukan bahwa faktor media sosial, gaya hidup permisif, serta kurangnya keteladanan keluarga berkontribusi langsung terhadap penurunan akhlak remaja. Di Aceh, sejumlah guru bahkan melaporkan siswa tidak lagi menghormati guru sebagaimana dahulu , tidak menyapa, tidak menunduk, dan sering kali berperilaku seenaknya di lingkungan sekolah.
Kondisi ini semakin diperparah oleh perubahan budaya komunikasi anak muda. Di era digital, kata-kata kasar dan ekspresi sarkastik menjadi hal lumrah. Menteri Pendidikan, dalam sebuah wawancara dengan Detik.com, bahkan menyoroti banyak anak muda kini menganggap bahasa jorok dan kasar sebagai bagian dari tren “gaul”. Ini bukan lagi sekadar masalah tata krama, tapi krisis nilai yang menjalar dari ruang digital ke ruang kelas.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengaku prihatin terhadap kondisi tersebut. Ia menilai bahwa masih banyak masyarakat yang belum memahami tata krama dalam berbahasa, terutama di ruang digital.
"Orang berbicara kata-kata kasar, mohon maaf kata-kata jorok, kata-kata kotor, dan sejenisnya itu sudah sangat biasa" ungkapnya keheranan dalam acara "Pak Menteri Menyapa Guru Bahasa Indonesia" di Gedung A Kemendikdasmen, Jl Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, Selasa (24/6/2025).
Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa kita sedang menghadapi krisis yang lebih mendalam dari sekadar “nakal di sekolah.” Ini adalah krisis adab dan empati.