Jadi, bukan soal kemampuan alami, tapi soal siapa yang merawat kemampuan itu. Dan di sinilah sistem Liga kembali dipertanyakan: jika kompetisi tidak mendukung perkembangan pemain lokal, maka sampai kapan kita hanya akan mengandalkan mereka yang tumbuh di Eropa?
Liga Satu-Satunya: Saat Kompetisi Tak Lagi Kompetitif
Yang lebih menyedihkan, Liga 1 kini menjadi satu-satunya jalur kompetitif yang dimiliki pemain muda. Tak ada turnamen elite antar klub usia muda, tak ada piala liga, bahkan Piala Presiden pun tak semua klub mengikutinya. Padahal, turnamen seperti ini sangat penting untuk memberi ruang bagi rotasi skuad dan eksperimen pemain muda.
Turnamen seperti Elite Pro Academy menjadi terlihat hanya sebagai formalitas menjalankan kompetisi untuk pemain di bawah umur. Tidak ada liga panjang, hanya sekedar perlombaan untuk mencari siapa juaranya.
Kita sering bicara soal jam terbang, tapi di mana mereka bisa terbang kalau langitnya hanya satu? Satu liga utama, satu kesempatan, dan itu pun penuh tekanan untuk menang. Akibatnya, pelatih tidak berani berjudi dengan pemain muda. Mereka tak ingin ambil risiko kalah hanya demi memberi menit bermain.
Kondisi ini menciptakan ekosistem yang tumpul: tak ada regenerasi nyata karena tak ada ruang mencoba. Klub terlalu sibuk mengejar hasil, sementara negara sibuk mencari prestasi. Yang terjepit di tengah? Anak-anak muda yang seharusnya jadi masa depan
Hal ini membuat stok bakat-bakat pemain muda di Indonesia hanya sedikit. PSSI dan LIB telah membuat aturan tentang tiap klub wajib memainkan pemain u-23 di tiap pertandingan. Minimal 45 menit awal pertandingan. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah cukup?
Pemain Muda Diwajibkan Main, Tapi Masih Sekadar Kewajiban
Dalam beberapa musim terakhir, PSSI telah mencoba memaksa pembinaan pemain muda lewat regulasi: pemain U-23 harus bermain minimal 45 menit di setiap pertandingan, dan setiap babak harus ada setidaknya satu pemain U-23 yang tampil. Di atas kertas, ini adalah langkah revolusioner. Di atas lapangan, memang beberapa wajah muda akhirnya muncul. Nama-nama seperti Arkhan Fikri, Alfeandra Dewangga, Rayhan Hannan, hingga Frengky Missa dan masih banyak lagi, perlahan mendapat panggung.
Namun, panggung itu tak selalu layak. Banyak pelatih menyiasati aturan dengan cara minimal: mainkan pemain muda 45 menit, lalu tarik keluar. Tidak ada kesinambungan, tidak ada kepercayaan jangka panjang. Yang terjadi bukan pembinaan, melainkan kepatuhan teknis terhadap regulasi.
Dan inilah sumber persoalan. Jika pemain muda hanya masuk karena kewajiban, bukan karena kepercayaan, maka mereka tumbuh dengan rasa terancam. Mereka tahu: satu kesalahan bisa mengembalikan mereka ke bangku cadangan. Maka pertumbuhannya tidak sehat, tidak tenang, dan tidak berani mengambil risiko.
Di sisi lain, pelatih Timnas seperti Patrick Kluivert tetap mencoba mencari dari liga. Ia memanggil nama-nama dari Liga 1, tapi akhirnya pilihan jatuh pada pemain yang itu-itu saja. Tak banyak opsi segar. Timnas butuh sayap baru, tapi Liga seperti kekurangan stoknya.
Beckham Putra menjadi pemain tim nasional yang telah diuji di 2 pertandingan terakhir. Pemain muda yang sangat layak mendapatkan pemanggilan kedua di pertandingan berikutnya. Tapi apakah kita bisa mendapat pemain-pemain muda yang berkualitas seperti dia lagi, atau harus menunggu datangnya mukjizat dari Tuhan entah berapa lama lagi akan datang pemain muda yang sangat berbakat dari liga di Indonesia?
Jika Liga Tak Mengangkat, Sampai Kapan Garuda Terbang Sendiri?
Kita bersyukur, Timnas mulai berbicara banyak di kancah Asia. Tapi mari kita sadari: sayap Garuda yang kita lihat hari ini, satu di antaranya tidak dibentuk oleh Liga. Ia dibentuk oleh akademi di Belanda, Jerman, Inggris. Dibentuk oleh kompetisi luar negeri. Oleh pembinaan yang konsisten dan bersih dari intervensi.
Kalau kita terus bergantung pada pemain dari luar sistem, maka pertanyaannya bukan "seberapa tinggi kita bisa terbang?" tapi "seberapa lama kita bisa terbang?"Â