Mohon tunggu...
Dionisius Yuan Stefanus
Dionisius Yuan Stefanus Mohon Tunggu... Penulis

Menulis yang terdengar, memotret yang terasa.

Selanjutnya

Tutup

Bola

Garuda Terbang Sendiri, Tanpa Sayap dari Liga

2 Juli 2025   23:02 Diperbarui: 2 Juli 2025   23:02 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ole Romeny, Pemain Tim Nasional Indonesia mencetak gol perdana melawan Australia, 20/03/2025. Sumber: PSSI/Timnas Indonesia


Indonesia hari ini tengah memasuki babak baru dalam sejarah sepak bolanya. Tim nasional tampil menjanjikan, para diaspora mulai menyatu dengan pemain-pemain lokal, dan pelatih asing seperti Shin Tae-yong dan saat ini Patrick Kluivert menunjukkan profesionalisme dalam manajemen tim. Garuda tampak mulai membentangkan sayapnya.

Meskipun Shin Tae Yong sudah "dilengserkan", Timnas Indonesia tetap harus terbang tanpa arsitek yang sudah membangun sistem ini sejak tahun 2019. 

Masyarakat kita dan bahkan masyarakat dunia pun tengah memperhatikan Tim nasional Indonesia yang berkembang pesat. Sejauh ini, tim kita telah melaju hingga kualifikasi piala dunia di babak yang keempat. Mereka harus bertemu dengan tim-tim dari negara yang ada di timur tengah. Timnas kita telah terbang tinggi untuk unjuk gigi.

Namun, apakah Garuda benar-benar terbang tinggi? Atau terbang tanpa sayap dari liga lokalnya?

Selisih Diaspora dan Lokal: Bukan di Bakat, Tapi di Ekosistem

Aneh rasanya, di negara sebesar Indonesia, dengan puluhan juta anak muda, Timnas justru harus berkaca ke luar negeri untuk mencari tulang punggungnya. Rafael Struick, Ivar Jenner, hingga Nathan Tjoe-A-On kini menjadi elemen penting dalam skema Shin Tae-yong. Mereka datang dengan tenaga, pemahaman taktik, dan ketenangan bermain yang berbeda.

Jika mereka menjadi pemain penting di zaman Shin Tae-Yong, mereka sekarang malah jadi opsi terakhir dalam pilihan skuad dari Patrick Kluivert. 

Pemain-pemain diaspora yang kita miliki memang kualitasnya lebih tinggi daripada kualitas pemain di liga lokal. Tapi dalam beberapa match, pemain-pemain lokal kita malah bisa menyeimbangi, bahkan kualitasnya melebihi para pemain diaspora.

Banyak anak-anak Indonesia di daerah juga punya kualitas serupa, bahkan lebih. Bedanya hanya satu: diaspora dibesarkan oleh sistem, lokal dibesarkan oleh nasib. 

Di Belanda, mereka belajar bermain sejak kecil dalam struktur. Latihan teratur, pelatih berlisensi, pola makan terkontrol, dan kompetisi yang menuntut mereka setiap pekan. Di Indonesia, banyak pemain muda masih latihan di lapangan yang becek dan berbahaya, tanpa fisioterapis, tanpa gizi, bahkan kadang tanpa sepatu layak.

Bahkan, kualitas dalam latihannya pun berbeda. Turnamen-turnamen untuk pemain lokal dan pemain yang masih muda sedikit. Sedangkan, di luar negeri, terkhususnya di eropa sangat banyak. 

Kalau kita lihat, Jepang pun sudah menerapkan kompetisi di semua umur. Bahkan, ada kompetisi liga untuk anak-anak sekolah. Penontonnya pun ramai, sampai memenuhi stadion.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun