Tubuh, sejak dahulu kala, bukan hanya sekadar rangka daging dan tulang yang menopang kehidupan manusia. Ia adalah medan pertemuan antara yang kasatmata dan yang tersembunyi antara yang jasmaniah dan yang simbolik. Dalam dunia yang terus bergerak ini, tubuh manusia tidak lagi hanya dipahami sebagai wadah biologis, melainkan telah berubah menjadi arena: tempat berlangsungnya ketegangan, negosiasi, perlawanan, dan konstruksi identitas.
Pameran bertajuk Tubuh Arena 2025 mengangkat persoalan ini secara mendalam. Lewat sketsa, drawing, hingga eksplorasi visual lainnya, tubuh hadir bukan sebagai objek pasif, tetapi sebagai entitas aktif yang mengandung sejarah, trauma, memori, bahkan ideologi. Tubuh diposisikan sebagai tempat berlangsungnya ketegangan antara diri pribadi dan dunia luar antara hasrat dan kendali, antara kebebasan dan keterikatan. Sejalan dengan pendapat Cate Cregan (2006) dan diperkuat dalam studi-studi mutakhir, tubuh menjadi titik temu antara fakta sosial, konstruksi budaya, kekuasaan politik, serta dinamika ekonomi dan teknologi (Yangni, 2023).
Dalam budaya visual kontemporer, tubuh tampil di mana-mana: di layar ponsel, iklan jalanan, media sosial, panggung politik, hingga ritual keagamaan. Namun kehadiran tubuh yang massif itu tidak berarti ia bebas. Justru sebaliknya tubuh kian terkungkung oleh ekspektasi, norma sosial, dan kapitalisasi gaya hidup. Tubuh menjadi proyek yang terus direkayasa: dipoles, dikendalikan, bahkan dieksploitasi.
Melalui pameran Tubuh Arena, seniman muda mencoba membaca ulang tubuh: tidak hanya sebagai anatomi, tetapi juga sebagai medan narasi. Lewat garis, warna, komposisi, dan simbol, tubuh dipertanyakan kembali hakikatnya ia menjadi jembatan antara pengalaman personal dan wacana publik. Pendek kata, tubuh menjadi "arena" tempat segala tarik-menarik makna berlangsung intim, keras, sekaligus penuh kontemplasi.
Gambar yang menyertai tema Tubuh Arena ini menampilkan sosok tubuh manusia yang tergantung dengan benang-benang merah yang menyerupai tali pengikat atau kawat kendali. Tubuh-tubuh ini digambarkan nyaris tanpa wajah yang jelas anonim, rapuh, dan seolah tak berdaya. Di latar belakang, tampak figur besar bertangan banyak, dengan ekspresi ambigu dan simbol jantung merah menyala di bagian tengah dada. Seluruh komposisi visual ini seolah berbicara tentang tubuh manusia sebagai objek yang dikendalikan, dikorbankan, sekaligus menjadi titik pusat konflik makna.
Warna merah yang mencolok pada benang dan jantung bukan sekadar pemanis visual ia adalah simbol intensitas. Merah adalah warna darah, amarah, cinta, dan bahaya. Benang-benang merah itu tidak hanya membungkus tubuh-tubuh kecil, tetapi juga menghubungkannya pada satu figur dominan. Ini bisa dimaknai sebagai metafora kuasa: tubuh-tubuh dikendalikan oleh entitas yang lebih besar baik itu sistem sosial, budaya patriarkal, kekuasaan negara, atau bahkan kekuatan batin yang tidak terlihat. Gambar ini sejalan dengan konsep kuratorial bahwa tubuh saat ini telah menjadi “divisible object” atau objek yang terbagi-bagi dan diperalat dalam sistem global (Yangni, 2023).
Figur utama dalam gambar tampak androgini menabrak batas antara maskulinitas dan feminitas mewakili tubuh sebagai medan pergesekan identitas. Ini mencerminkan gagasan fluid identity yang banyak dibahas dalam studi gender dan budaya visual saat ini, bahwa tubuh manusia bukan entitas tunggal dan tetap, melainkan ruang negosiasi yang cair dan kompleks (Sugiharto, 2000).
Secara simbolik, komposisi gambar ini juga mengandung makna spiritual: posisi tubuh tergantung, tangan-tangan yang menjulur, serta aura merah menyala dari jantung utama dapat dibaca sebagai bentuk penderitaan atau pertobatan. Tafsir ini bersambung dengan narasi kuratorial bahwa tubuh bukan hanya materi biologis, tetapi juga sarana komunikasi spiritual, sekaligus medium kesaksian di hadapan kekuatan yang lebih tinggi.
Pada sisi lain, gaya visual yang digunakan dengan garis ekspresif, warna monokrom dan komposisi dramatik mengandung unsur ekspresionisme. Hal ini mendukung gagasan bahwa tubuh dalam karya ini bukan sekadar tubuh fisik, melainkan juga tubuh emosional, tubuh sosial, dan tubuh spiritual. Keterikatan benang menjadi lambang keterjeratan tubuh dalam jaringan kekuasaan, sedangkan jantung merah menjadi pusat empati dan perlawanan. Tubuh tidak lagi semata dipahami sebagai raga biologis, tetapi menjelma menjadi ruang penuh tafsir, arena tarik-menarik berbagai kekuatan, dan medan simbolik yang menyimpan berbagai lapisan makna.
Dalam gambar tersebut, terlihat tubuh manusia yang tergantung, dikendalikan oleh benang merah seperti boneka marionet menggambarkan ketakberdayaan atau keterikatan pada sistem-sistem eksternal: mungkin kuasa sosial, dogma budaya, atau bahkan trauma personal. Di atasnya, figur-figur lain menyerupai entitas supranatural atau representasi hasrat dan konflik internal, berpusat pada sosok berwajah nyaris maskulin-feminin dengan jantung berwarna merah menyala ikon dari vitalitas, penderitaan, dan kerentanan tubuh. Penempatan jantung sebagai satu-satunya unsur berwarna seakan menegaskan bahwa tubuh, betapa pun dikendalikan, tetap memiliki pusat emosi dan kehidupan yang tak bisa sepenuhnya dikuasai.