Mohon tunggu...
Dina Retno Wulandari
Dina Retno Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Terus belajar

Sama-sama belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ritual

21 Oktober 2021   22:26 Diperbarui: 21 Oktober 2021   22:51 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lima belas menit dia berkeliling dan masih belum menemukan jawaban dari lokasi dirinya saat ini.
"Ya sudah lebih baik aku kembali ke kamar dan tidur lagi mungkin memang aku masih tertidur," kata Angkasa.
Hari ternyata sudah malam, Angkasa terbangun dari tidur. Dipegangnya kepala yang terasa pusing akibat terlalu banyak tidur. Rasa pusing itu membuktikan bahwa Angkasa memang tidak sedang bermimpi.

" Apa yang dibilang ibu kemarin benar. Tapi aku tidak percaya," kata Angkasa.
Karena lelah memikirkan alasan di balik situasinya sekarang ini, Angkasa yang dari tadi sudah berkeliling lagi setelah bangun tidur kini merasa lelah dan tertidur.

"Ibuuu," teriak Angkasa melihat ruangan tempatnya terbangun kali ini merupakan ruangannya.
Tidak ada jawaban dari siapapun. Kemudian Angkasa keluar, tidak ada satu orangpun di rumah. Dia berlari ke luar dan bertanya pada seorang kakek yang duduk di samping rumahnya.

"Kek, apa kakek tahu dimana orang-orang di rumah ini?"
"Kenapa kamu menanyakan mereka. Mereka baru saja meninggal dua hari yang lalu," jawab kakek.
Deg, betapa terkejutnya Angkasa mendengar perkataan kakek itu.
"A-apa maksud,"--tubuhnya terjatuh--"kakek ...."

"Lima hari lalu saat malam ritual di hutan seorang anak laki-laki yang seharusnya ikut ritual tidak mengikuti ritual ini. Menurut berita yang kakek dengar, pagi setelah ritual itu anak laki-laki itu sudah tidak ada di rumah. Mereka juga sudah memanggil polisi untuk mencarinya tapi tidak ditemukan. Setelah itu mereka hancur karena belum bisa menerima kenyataan bahwa anaknya hilang. Hingga akhirnya ibu dari anak itu meninggal karena serangan jantung dan ayahnya yang sangat terkejut memilih untuk pergi dari daerah ini dan memakamkan mendiang istrinya di daerah tempat tinggalnya yang baru.

"Kalau menurut kakek anak itu terkena sanksi karena tidak mengikuti ritual yang sudah menjadi norma di masyarakat. Walaupun norma itu juga tidak selalu terbentuk dari kesepakatan bersama namun setiap norma miliki sanksi tersendiri."
Tidak terlihat ekspresi apapun di wajah Angaksa. Kosong seperti balon yang baru saja ditiup kemudian diletuskan. Dia tidak tahu harus mengambil sisa-sisa letusan balon itu atau membuangnya. Penyesalan yang sudah tidak berguna sedang melintas di otaknya. Angkasa masih belum bisa menerima kenyataan yang dihadapinya saat ini. Semuanya seperti bom yang meledak di danau yang tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun