Mohon tunggu...
Dina Retno Wulandari
Dina Retno Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Terus belajar

Sama-sama belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ritual

21 Oktober 2021   22:26 Diperbarui: 21 Oktober 2021   22:51 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah desa yang terletak di lereng gunung memiliki tradisi yaitu setiap laki-laki berusia di atas dua puluh tahun wajib mengikuti ritual sebagai bentuk rasa syukur dan sebagai norma adat yang mengatur warga. Ritual ini dilaksanakan setiap setahun sekali pada sekitar pukul sepuluh malam di sebuah tempat di tengah hutan. Mereka mulai dari pintu masuk ke hutan lalu dengan berbaris mereka berjalan memutari hutan dengan jalur yang telah dipersiapkan. Setelah memutar barulah mereka menuju ke tempat ritual.

Tujuan dari mengitari hutan ini adalah untuk membiasakan mereka yang dianggap sebagai laki-laki dewasa untuk dapat mengenal seluk beluk hutan yang selama ini mereka jaga. Hal tersebut bermula ketika pada zaman dahulu ada seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun yang merusak ekosistem hutan dengan alasan bahwa dia tersesat dan harus memberi tanda untuknya pulang. Karena alasan itulah mereka akhirnya mengadakan ritual ini.

Pagi hari sebelum ritual tersebut, setiap rumah akan menyiapkan sesaji seperti makanan-makanan dan bunga yang dirangkai. Baju yang dipakai juga harus seragam sesuai kesepakatan bersama. Angkasa, seorang pemuda di desa itu, yang tahun ini genap dua puluh tahun akan mengikuti ritual ini. 

Sebenarnya Angkasa paling menghindar untuk kegiatan semacam ini. Sebelumnya pun saat ritual lain daidakan dia memilih untuk tetap di rumah daripada harus berkumpul untuk kegiatan semacam itu. Pada ritual-ritual sebelumnya orang tuanya masih membiarkan Angkasa memilih akan pergi atau tidak, namun kali ini orang tuanya memaksa Angkasa untuk pergi karena ritual kali ini berbeda. 

Dia yang selama ini senang karena tidak dipaksa untuk datang ke acara semacam itu tentu menolak untuk melakukannya kali ini.
"Bukannya ritual itu sama saja, ya? Kenapa kali ini aku harus berangkat. Nyatanya tidak terjadi apa-apa walaupun dari dulu aku tidak berangkat ke  ritual yang lain," ucap Angkasa.

Ibunya sedang menyaipkan sesaji untuk dibawanya nanti. Dilihatnya Angkasa dan ditepuk pundaknya.
"Ada apa to nak? Orang kok hobinya ngomong sendiri? Kamu ingat kan kalau nanti malam harus berangkat. Ibu sudah memberitahumu sebelumnya alasan mengapa adanya ritual ini. Tapi lima tahun terakhir ada perbedaan pada ritual ini, pokoknya harus berangkat, ya!," perintah ibu.

"Iya, Bu," jawab Angkasa mengiyakan perintah ibunya.
Entah kenapa waktu terasa lebih cepat berjalan ketika kita tidak menunggunya. Akhirnya tiba waktunya untuk berkumpul di depan gerbang hutan.

"Sa, jangan lupa dibawa sesajinya," kata bapak.
"Iya, pak. Kalo begitu Angkasa berangkat dulu," jawab Angkasa yang melangkah mendekati rak alas kaki.

 Akan tetapi, Angkasa meragukan ritual itu. dalam dirinya muncul beribu tanda tanya dan dari sana ia beranggapan bahwa dirinya tak perlu turut serta dalam ritual. Setelah itu dia memakai sepatunya dan berjalan menuju gerbang rumah.

Semua yang akan mengikuti ritual itu sudah berkumpul di depan gerbang dengan membawa sesaji. Mereka mulai melaksanakan tahapan ritual satu demi satu. Udara dingin berkibas ditemani rembulan yang menggandeng bintang-bintang. Waktu berjalan dan ritual pun telah selesai. Semuanya kembali ke rumah masing-masing. Angkasa sampai di depan gerbang rumahnya. Dilepasnya alas kaki kemudian segera dia membersihkan dirinya lalu tidur karena sangat lelah.

Sinar matahari yang menyelinap lewat sela-sela jendela membangunkannya. Matanya terbelalak melihat kamar yang asing baginya. Kemudian dia melangkah keluar. Entah kenapa dia merasa ini bukan rumahnya, bahkan lingkungan di sekitar rumahnya juga belum pernah dia lihat sebelumnya.

Lima belas menit dia berkeliling dan masih belum menemukan jawaban dari lokasi dirinya saat ini.
"Ya sudah lebih baik aku kembali ke kamar dan tidur lagi mungkin memang aku masih tertidur," kata Angkasa.
Hari ternyata sudah malam, Angkasa terbangun dari tidur. Dipegangnya kepala yang terasa pusing akibat terlalu banyak tidur. Rasa pusing itu membuktikan bahwa Angkasa memang tidak sedang bermimpi.

" Apa yang dibilang ibu kemarin benar. Tapi aku tidak percaya," kata Angkasa.
Karena lelah memikirkan alasan di balik situasinya sekarang ini, Angkasa yang dari tadi sudah berkeliling lagi setelah bangun tidur kini merasa lelah dan tertidur.

"Ibuuu," teriak Angkasa melihat ruangan tempatnya terbangun kali ini merupakan ruangannya.
Tidak ada jawaban dari siapapun. Kemudian Angkasa keluar, tidak ada satu orangpun di rumah. Dia berlari ke luar dan bertanya pada seorang kakek yang duduk di samping rumahnya.

"Kek, apa kakek tahu dimana orang-orang di rumah ini?"
"Kenapa kamu menanyakan mereka. Mereka baru saja meninggal dua hari yang lalu," jawab kakek.
Deg, betapa terkejutnya Angkasa mendengar perkataan kakek itu.
"A-apa maksud,"--tubuhnya terjatuh--"kakek ...."

"Lima hari lalu saat malam ritual di hutan seorang anak laki-laki yang seharusnya ikut ritual tidak mengikuti ritual ini. Menurut berita yang kakek dengar, pagi setelah ritual itu anak laki-laki itu sudah tidak ada di rumah. Mereka juga sudah memanggil polisi untuk mencarinya tapi tidak ditemukan. Setelah itu mereka hancur karena belum bisa menerima kenyataan bahwa anaknya hilang. Hingga akhirnya ibu dari anak itu meninggal karena serangan jantung dan ayahnya yang sangat terkejut memilih untuk pergi dari daerah ini dan memakamkan mendiang istrinya di daerah tempat tinggalnya yang baru.

"Kalau menurut kakek anak itu terkena sanksi karena tidak mengikuti ritual yang sudah menjadi norma di masyarakat. Walaupun norma itu juga tidak selalu terbentuk dari kesepakatan bersama namun setiap norma miliki sanksi tersendiri."
Tidak terlihat ekspresi apapun di wajah Angaksa. Kosong seperti balon yang baru saja ditiup kemudian diletuskan. Dia tidak tahu harus mengambil sisa-sisa letusan balon itu atau membuangnya. Penyesalan yang sudah tidak berguna sedang melintas di otaknya. Angkasa masih belum bisa menerima kenyataan yang dihadapinya saat ini. Semuanya seperti bom yang meledak di danau yang tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun