Latar Belakang
Dua tokoh filsuf besar yaitu Marcus Aurelius dan Epictitus yang beraliran Stoikisme mengajarkan bahwa kedamaian jiwa diraih melalui pengendalian diri atas apa yang bisa kita ubah, seperti respons emosional dan pilihan bijak, sambil merangkul dengan sabar segala yang tak terjangkau oleh kehendak kita. Pendekatan ini menekankan pembedaan antara hal-hal internal yang kita kuasai dan eksternal yang harus diterima apa adanya, sehingga menghasilkan ketenangan yang tak tergoyahkan.
Di sisi lain, Friedrich Nietzsche memberikan gagasan "The Will to Power" dan "Amor Fati" yang bertujuan untuk memperluas makna dari berpikir positif. Manusia yang kuat adalah mereka yang tak hanya bertahan pada nasib, melainkan merayakannya sepenuh hati, termasuk penderitaan dan kegagalan. Melalui konsep "Ja Sagen" yang mengatakan "Ya" pada aspek kehidupan, Nietzsche mendorong keberadaan yang jujur, penuh keberanian, dan inovatif, di mana setiap pengalaman menjadi sebuah pijakan untuk mencapai pengembangan diri yang lebih maju.
Seorang filsuf dan psikolog Amerika, bernama William James, yaitu pelopor pragmatisme Amerika yang mengintegrasikan berpikir positif ke dalam psikologi dengan menyoroti bagaimana keyakinan bisa membentuk dunia nyata. Ia menyatakan bahwa kita tidak perlu menunggu kepastian dari luar; sebaliknya, dengan sikap positif dan tindakan, kita menciptakan realitas yang lebih baik. Kontribusi James ini menjadi dasar bagi psikologi positif modern.
Albert Ellis melanjutkan dan memperkuat prinsip ini lewat Terapi Perilaku Emosional Rasional (REBT), ia menjelaskan bahwa penderitaan emosional disebabkan oleh cara kita mengartikan suatu persitiwa. Dengan memperbaiki cara berfikir yang tidak rasional menjadi lebih logis, seseorang dapat mengontrol emosi dan tindakan yang diambil, sehingga mencapai kesejahteraan yang lebih stabil.
Secara keseluruhan, berdasarkan pemikiran lima tokoh ini, berpikir positif terlihat sebagai latihan mental yang disiplin, keberanian untuk menerima, dan kreativitas dalam menciptakan takdir.
https://docs.google.com/presentation/d/1LPabLcK5m7OfmR7WK6eythgabvZTNx9L/edit?usp=sharing&ouid=106377748573211105872&rtpof=true&sd=true
Marcus Aurelius (121–180 M) – Filsuf Kaum STOA

Marcus Aurelius (121–180 M) adalah seorang filsuf  Stoik Romawi yang juga menjabat sebagai kaisar, dikenal melalui karyanya Meditations yang mencerminkan pemikiran mendalam tentang kehidupan. Inti dari pemikirannya menekankan bahwa meskipun kita tidak dapat mengatur peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar diri kita, kita selalu punya kendali penuh atas cara berpikir dan reaksi terhadap hal-hal tersebut. Dalam pandangannya, pikiran yang baik dan logis adalah kunci untuk mencapai ketenangan jiwa. Ia berkeyakinan bahwa penderitaan sering kali terjadi bukan disebabkan oleh peristiwa itu sendiri, tetapi lebih kepada bagaimana kita menilai peristiwa tersebut. Dengan melatih pikiran agar tetap tenang, logis, dan optimis, seseorang dapat meraih kebahagiaan sejati atau eudaimonia.
Salah satu kutipan terkenalnya adalah,Â
"You have power over your mind – not outside events. Realize this, and you will find strength" (Kamu memiliki kekuasaan atas pikiranmu – bukan atas peristiwa di luar dirimu. Sadari hal ini, dan kamu akan menemukan kekuatan).Â
Relevansi pandangannya terhadap pola pikir optimis terletak pada prinsip bahwa hal itu tidak berarti menolak kenyataan. Prinsip tersebut dapat menemukan kekuatan batin untuk membantu seseorang agar tetap tenang, meskipun sedang mengalami situasi yang sulit.