Kata orang pendidikan adalah kewajiban,
ada miliaran ilmu yang tertuang.
Kata orang pendidikan harus diperjuangkan,
sebab jadi sarana jelajah dunia nan benderang.
Tapi pengalamanku bilang,
menempuh pendidikan adalah hal yang menakutkan.
Tak lepas dari teror bullying,
yang selalu menggunjing.
Tamasya memandangi ketidakadilan,
yang menjadi kebiasaan.
Bekas luka perundungan itu,
rupanya tak mampu hilang.
Buah mulut yang merundung itu,
terus mengiang.
Tertinggal bersama ketidakadilan.
Hingga toga wisuda disematkan,
tak sedikit pun bahagia menempel pada raga.
Jangankan bahagia,
rasa lega pun tak menyapa.
Miliaran ilmu begitu utuh,
tapi perundungan tak lekas patuh.
Luka batin yang menancap tak kunjung sembuh.
Kecewa terlanjur kukuh.
Duka menjejaki dunia pendidikan,
ada banyak trauma yang ketinggalan.
Penulis: Dina Amalia
Mandeville, 04 Desember 2023.
**(Izinkan saya membagikan untaian puisi yang tertuang dari pengalaman asli. Dari perjalanan mengarungi 12 tahun pendidikan wajib, dua waktu mengalami perundungan oleh teman-teman dan guru. Lanjut melihat dunia melalui 4 tahun pendidikan yang lebih tinggi, ternyata ada satu waktu yang terdapat ketidakadilan berserakan.
Merasakan dampak yang begitu besar dari sebuah perundungan, dampak yang kurang mengenakan luar biasa hadir pada 2-3 tahun setelah perundungan itu terjadi, bahkan terus terngiang hingga saat ini. Mungkin bukan hanya saya yang mengalami perundungan, di luar sana ada banyak sekali teman-teman yang juga merasakan.
Sayangnya, sangat tak mudah untuk mengekspresikan pengalaman yang kurang baik ini, ada rasa ketakutan yang begitu menyelimuti dan lebih memilih untuk menyendiri.
Ilmu yang terus mengalir melalui dunia pendidikan sangatlah luar biasa dan begitu berguna, bisa melihat luasnya bumi manusia yang membentang indah. Ketika perundungan terjadi, bukan berarti diri ini berhenti untuk mengejar ribuan mimpi, tak juga memberhentikan sebuah perjalanan pendidikan untuk mengambil ribuan ilmu yang telah tersalurkan, melainkan terus melangkah dan berjalan gagah.
Memang menjadi pengalaman yang menakutkan, berjalan menahan rasa kesakitan. Tapi ilmu yang menggebu, takkan jadi abu, berubah wujud bak energi untuk terus melaju.
Rasa sakit yang begitu nyeri, hingga tak bisa terobati. Menahan diri untuk tak melontarkan isi hati, kecuali melalui puisi. Salam hangat untuk para Kompasianer, terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk membaca, salam sehat-sehat selalu).**
Baca Juga: Puisi: Duka Menjadi Seorang Pemimpin
Baca Juga: Puisi: Berhenti, untuk Bersastra
Baca Juga:Â Puisi: Diri Sendiri