Mohon tunggu...
Dimas Saputra
Dimas Saputra Mohon Tunggu... -

a simple man with a simple lough

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Awal Mula: Satu Ditambah Satu Menjadi Satu

17 Agustus 2010   23:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:56 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Puluhan tahun lalu, disuatu hutan di pulau antah berantah hidup sekelompok petani pohon. Pohon-pohon yang mereka tebang bukanlah pohon liar yang tumbuh di hutan lalu seenaknya dia tebang. Tapi petani pohon selalu menanam pohon sepanjang waktu sampai akhirnya pohon yang dia tanam tumbuh besar dan siap ditebang. Untuk memanen pohon yang ditanam tidaklah butuh waktu yang sebentar tapi cukup lama, untuk itu petani pohon hidup berkelompok.

Hari ini adalah hari dimana pohon-pohon yang ditanam petani pohon siap dipanen. Semua sibuk menebang pohon yang dianggap sudah layak untuk ditebang. Tidak banyak yang mereka tebang karena takut merusak keseimbangan alam. Setiap panen, mereka hanya memotong tidak pernah lebih dari lima pohon. Pohon-pohon yang sudah mereka tebang tidak lantas di jual, akan tetapi mereka olah menjadi berbagai macam hal yang berguna dalam kehidupan mereka. Sebagian mereka jual untuk biaya hidup.
Seorang petani pohon sedang mengolah sebuah batang pohon yang sudah dipotong dalam ukuran yang tidak besar. Dia pandangi potongan pohon itu, memandang bentuknya dari berbagai sisi. Dia berpikir akan dibuat apa batang pohon ini. Dalam kebingungannya dia segera mengambil gergaji, pahat dan peralatan lainnya. Kemudian dia mulai memotong, memahat, mengampelas potongan batang pohon itu tanpa berpikir apapun, tanpa satu buah ide pun mengenai apa yang hendak ia buat dengan potongan batang pohon tersebut.

Hari sudah hampir malam, si petani pohon tersebut masih sibuk bermain dengan gergaji dan alat pahat, mencoba mencari bentuk yang sesuai namun nihil. Dia berhenti tepat matahari mulai terbenam dan mulai memandangi kembali potongan batang pohon yang dia cabuli sepanjang hari tadi. Dahinya berkerut, sambil tertawa dia mulai merapikan perkakasnya dan membersihkan diri untuk istirahat karena esok dia harus bekerja kembali.

Sebelum tidur, petani pohon itu berpikir keras, mencoba mengingat bentuk terakhir dari potongan batang pohonnya. Dia tertawa dan dahinya berkerut karena sampai dengan saat ini dia belum menemukan ide apapun mengenai benda apa yang dapat dia buat dari potongan batang pohon tadi. Padahal, petani pohon ini termasuk yang paling handal dan kaya ide di antara petani pohon yang lain. Dia sudah membuat benda dengan nilai jual yang tinggi, pembeli pun tidak pernah dibuat kecewa olehnya. Namun, kali ini si petani pohon seakan tidak bisa berpikir apapun, imajinasinya seakan mungkret dan tak mau bergerak. Dia hanya berpikir soal menggergaji, memahat, memotong, dan memaksimalkan semua perkakas yang dia miliki.

Hari berganti, petani pohon sudah siap dengan pahat dan palu di tangan. Tanpa pikir dia segera saja mengerjakan apa yang kemarin belum selesai dia kerjakan, yaitu membuat benda bernilai dan bermanfaat dari potongan batang pohon yang baru saja dipanen kemarin pagi. Lima jam berlalu dan petani pohon terhenti dan mulai memandang potongan batang pohon yang sudah berubah bentuk. Pikirannya makin ruwet karena sudah hampir habis batang pohon dia gergaji, potong dan pahat namun belum ada bentuk yang bisa dia terima dengan akal sehatnya. Jantungnya mulai berdegup kencang, sedikit kesal dan marah lalu memahat dengan emosi meledak. Diketuk palunya dengan keras, sampai terkadang pahatannya terlalu dalam dari yang dia inginkan. Dia terus memotong dan memahat. Tujuh jam berlalu, dia masih memahat dalam emosi tinggi, jantungnya berpacu dengan kecepatan tangannya memahat. Terkadang gergaji dia gunakan namun dia enggan gunakan golok saat itu. Delapan jam, dan matahari hampir terbenam dia masih memahat, menggergaji dan memotong sampai lupa makan dan minum. Pikirannya kacau, tak ada satupun ide yang melintas dan yang ada dipikirannya hanya pahat dan potong.

Pukul enam sore dan matahari nyaris terbenam. Petani pahat berhenti memotong dan memahat. Dia sedang mengamplas sekarang. Potongan batang pohon yang cukup besar sekarang sudah tidak ada dan habis. Potongan batang pohon tersebut saat ini hanya menjadi sebuah benda sdengan panjang lima belas senti dan diameter tak sampai setengah senti. Dia pandangi benda itu dengan penuh rasa kecewa dan dirinya benar-benar dikuasai amarah. Putus asa rasanya saat itu, potongan batang pohon yang seharusnya dapat dirubah menjadi benda yang bernilai dan berguna, kini hanya menjadi benda biasa yang nyaris tidak bermanfaat dalam kehidupannya. Meskipun dia sangat kecewa namun alih-alih benda tersebut tidak dia buang tapi dia simpan di laci meja kamarnya.

Di hari berikutnya, si petani pohon sudah menyiapkan potongan batang pohon berikutnya untuk dia oleh menjadi bentuk yang berguna. Tanpa pikir panjang dia langsung mengambil alat perkakasnya dan mulai bekerja. Dia memotong, menggergaji, dan memahat potongan batang pohon tersebut, lagi-lagi tanpa satupun ide yang terlintas dipikirannya. Berjam-jam sudah dia memotong, menggergaji, dan memahat sampai akhirnya tiba pukul enam dimana matahari nyaris terbenam. Si petani pohon sedang mengamplas potongan batang pohon yang sudah dihabisi dan saat ini sudah berubah menjadi benda dengan panjang lim belas senti dan diameter tidak lebih dari setengah senti. Dahinya mengkerut dan jantungnya kembali berdegup kencang. Kemudian dia berlari tanpa membereskan perkakasnya, tanpa membersihkan tubuhnya yang masih dipenuhi ampas kayu dan getah pohon.

Si petani pohon sampai dirumahnya dan segera menuju kamarnya dan membuka lacinya. Diambilnya sebuah benda yang dia buat kemarin, kemudian dia berkata “sama, persis”. Si petani pohon terus memandangi dua benda dengan panjang lima belas senti meter dan diameter tak lebih dari setengah senti tersebut sambil berjalan ke meja makan dimana istri dan dua orang anaknya sudah menunggu dengan lapar.

“Ayah, itu benda apa?” salah seorang anak laki-lakinya bertanya. Kemudian si petani pohon menjawab “entah, ayah juga tidak tahu”. Kemudian si anak lelaki meminta benda tersebut dari ayahnya. Si anak lelaki berpikir pasti benda tersebut dapat dijadikannya mainan atau semacamnya. Lalu diberikannya dua batang benda tersebut kepada anak lelakinya sambil mencuci tangannya sebelum mereka menyantap makan malam yang sudah disiapkan istrinya.

Petani pohon terkejut melihat apa yang diperbuat oleh anaknya dengan dua batang benda dengan ukuran lima belas senti dan diameter tidak lebih dari setengah senti tersebut. Dia, anak lelakinya sedang menjepit potongan daging dengan benda yang tadi dia berikan lalu mulai menyantap dagingnya . Dengan terheran-heran lalu dia berkata “berguna, itu berguna. Satu takkan berfungsi tapi dua berbeda. Satu ditambah satu jadi kesatuan, sempurna”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun