Menyusun ulang pendidikan rumah berarti mengembalikan rumah kepada hakikatnya: bukan hanya tempat berlindung, tetapi medan dialektika, ruang tempat pertanyaan-pertanyaan besar tentang hidup digumuli bersama.
Ritual Kebersamaan: bukan sekadar rutinitas, melainkan momentum menghadirkan kehadiran penuh, di mana percakapan menjadi doa yang hidup.
Pengalaman Konkret: berkebun, memasak, atau merawat alam sebagai laku pengetahuan yang menyatukan tangan, akal, dan jiwa.
Keteladanan Diam-diam: orang tua tidak sekadar mengajar, melainkan menjadi---menjadi cermin kejujuran, keberanian, dan kasih.
Di sinilah pendidikan rumah menemukan kembali watak filosofisnya: ia bukan proyek singkat, melainkan proses paideia---pembentukan manusia seutuhnya.
Setiap peradaban besar, dari Yunani hingga Nusantara, lahir dari rumah-rumah yang menanam benih kebajikan dan kebijaksanaan. Jika rumah kehilangan peran itu, peradaban pun kehilangan pusat gravitasinya. Menyulam kembali pendidikan rumah adalah panggilan untuk mengingat bahwa di balik semua kemajuan---gedung pencakar langit, laboratorium canggih, jaringan digital---ada kebutuhan abadi: manusia yang tumbuh bukan hanya pandai, tetapi bijak; bukan hanya cerdas, tetapi berjiwa.
Rumah, dalam arti yang paling dalam, adalah awal dan tujuan dari setiap perjalanan peradaban. Di sanalah kita kembali, dan di sanalah peradaban, diam-diam, terus lahir kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI