Kini, teknologi digital dan globalisasi menantang bentuk-bentuk tradisional keluarga. Sosiolog Zygmunt Bauman menyebut era ini sebagai "modernitas cair", di mana ikatan sosial menjadi lebih fleksibel, bahkan rapuh. Namun, riset neurosains sosial menunjukkan bahwa kebutuhan dasar akan kelekatan, empati, dan dukungan emosional tetap menjadi fondasi kesejahteraan manusia.
Peradaban modern, dengan segala kompleksitasnya, tetap bergantung pada kualitas relasi terkecil: keluarga dan komunitas. Kegagalan di tingkat mikro---ketimpangan pengasuhan, erosi nilai solidaritas---akan bergema pada tingkat makro berupa krisis sosial, politik, dan ekologis.
Paradoks Dunia Modern
Di balik gemerlap "kemajuan" yang kerap diagungkan, sistem dunia kontemporer menyimpan serangkaian paradoks dan sisi gelap yang semakin sulit diabaikan. Dari kacamata ilmiah, antropologis, dan sosiologis, kita dapat menelusuri beberapa lapisan masalah yang saling bertaut:
1. Krisis Ekologis: Kemajuan yang Menggerogoti Bumi
Pertumbuhan ekonomi global didorong oleh model ekstraktivisme---eksploitasi sumber daya alam yang melebihi daya pulih ekosistem.
Ilmiah: Data IPCC menunjukkan suhu global terus naik, keanekaragaman hayati merosot drastis, dan siklus hidrologi terganggu.
Sosiologis: Pola konsumsi berlebihan memperlebar jarak antara negara maju dan berkembang; masyarakat rentan menjadi korban pertama perubahan iklim.
Antropologis: Relasi manusia-alam yang dulu bersifat sakral berubah menjadi relasi transaksional; tradisi lokal penjaga keseimbangan ekologis terpinggirkan.
Hasilnya adalah dunia yang maju secara teknologi tetapi rapuh secara ekologis---ibarat rumah megah di atas fondasi yang lapuk.
2. Kapitalisme Finansial dan Kesenjangan Struktural