Tahap Kedua: Usia 8--12 Tahun
Saat logika mulai tumbuh dan rasa keadilan muncul, anak mulai bertanya: "Mengapa guru lebih percaya pada si A?" atau "Kenapa orang miskin tidak bisa sekolah?"
Ini adalah masa emas untuk mengasah nalar, bukan dengan dogma, tapi dengan dialog.
Anak diajak berpikir melalui perbandingan sudut pandang, memecahkan konflik sosial kecil, dan melakukan proyek sosial sederhana. Mereka tidak sekadar tahu bahwa menolong itu baik, tapi memahami mengapa menolong itu adil.
Tahap Ketiga: Usia 13--15 Tahun
Di usia ini, kritik tumbuh. Anak mulai mempertanyakan nilai-nilai yang diwariskan. Namun jika tidak didampingi, kritik ini bisa berubah menjadi sinisme.
Di sinilah pendidikan sadar-bias masuk dengan diskusi terbuka, analisis logika media, serta latihan mengenali bias diri dan kelompok. Anak diajak untuk menyadari bahwa pikirannya pun tak luput dari pengaruh lingkungan---dan bahwa berpikir ulang adalah kekuatan, bukan kelemahan.
Tahap Keempat: Usia 16--18 Tahun
Remaja kini telah mampu membaca sistem. Ia mulai melihat struktur: ekonomi yang timpang, politik yang korup, pendidikan yang tidak adil. Maka saatnya ia diajak menyusun ulang dunia kecilnya.
Melalui proyek perubahan nyata, forum debat etis, hingga penulisan esai reflektif, mereka bukan hanya belajar tentang dunia, tapi mulai membangun dunia baru di sekitarnya. Ini adalah tahap pematangan nalar dan nurani.
Tahap Kelima: 18 Tahun ke Atas
Manusia dewasa harus kembali pada pertanyaan-pertanyaan yang pernah ia tinggalkan: "Siapa aku? Apa tujuan hidupku? Untuk apa semua ini?"
Pendidikan di tahap ini bukan soal akumulasi pengetahuan, tapi soal kedalaman makna.