Ketika pola pikir yang sarat bias ini menjadi kebiasaan kolektif, maka lama-kelamaan terbentuk mental model dan mindset dominan yang kurang sehat. Misalnya, orientasi berlebihan pada materi dan keuntungan instan, sikap permisif terhadap korupsi dan nepotisme, serta rendahnya rasa gotong royong dan solidaritas sosial. Karakter ini sangat rentan terhadap manipulasi kekuasaan, pengaruh politik semu, dan ketidakstabilan sosial.
Pola pikir yang rentan ini juga tertanam dalam sistem pendidikan, media massa, dan praktik sosial yang kurang kritis dan reflektif. Akibatnya, generasi muda tidak dibekali kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengoreksi bias serta manipulasi tersebut, memperkuat siklus rentan ini secara turun-temurun.
Terakhir, dalam konteks genetika dan budaya, kecenderungan emosional dan sosial yang diwariskan (sebagian dalam DNA budaya) akan mudah tereksploitasi oleh mekanisme bias dan manipulasi ini. Sehingga tanpa intervensi sadar dan sistematis dalam pendidikan dan pembudayaan ulang paradigma berpikir, karakter bangsa Indonesia tetap akan terperangkap dalam rentan tersebut.
Mekanisme ini menunjukkan bahwa karakter bangsa Indonesia yang rentan bukan semata akibat kelemahan individu, melainkan hasil kumulatif dari pola pikir yang dibentuk dan dipelihara oleh bias kognitif, manipulasi psikologis modern, dan sistem sosial yang belum memberi ruang cukup bagi kesadaran kritis. Untuk mengubahnya, diperlukan revolusi pendidikan dan budaya yang berfokus pada kesadaran diri, pengembangan mental model sehat, dan pembebasan dari jebakan bias serta manipulasi.
Landasan ilmiah kurikulum ini bersifat multidisipliner, menggabungkan temuan mutakhir dari psikologi kognitif, neurosains, serta prinsip-prinsip epistemologi kritis. Namun, ia juga mengakar pada nilai-nilai luhur tradisi, seperti konsep tazkiyatun nafs dalam Islam yang menekankan penyucian jiwa dan kesadaran diri, serta kearifan lokal Jawa yang mengajarkan eling dan waspada sebagai kunci hidup bijak.Â
Melalui pendekatan tematik yang terstruktur berdasarkan jenjang usia dan perkembangan kognitif, kurikulum ini memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengenal diri secara autentik, menantang prasangka dan stereotip, serta mengasah kemampuan berpikir kritis yang mandiri. Pembelajaran dirancang interaktif, reflektif, dan aplikatif, sehingga mampu membekali generasi muda dengan kunci untuk tidak hanya memahami dunia, tetapi juga mengubahnya secara bermakna.
Bayangkan sebuah perjalanan manusia sejak kecil, saat ia mulai membuka mata dan bertanya tentang dunia di sekitarnya. Ia menyentuh, mencium, merasakan, bertanya. Namun dalam dunia yang begitu cepat, penuh suara-suara dominan dan tekanan sosial, pertanyaan-pertanyaan mendalam itu perlahan dibungkam oleh tuntutan-tuntutan luar. Pendidikan menjadi pabrik penyeragaman, bukan ladang penyadaran. Di sinilah pendidikan perdikan---pendidikan yang membebaskan pikiran dari belenggu bias dan dominasi---harus dibangun, dari usia paling dini hingga dewasa, dengan pendekatan yang sadar akan keunikan tahap kesadaran manusia.
Tahap Pertama: Usia 4--7 Tahun
Pada masa ini, anak adalah penjelajah kecil. Dunia dilihatnya seperti dongeng besar yang penuh warna dan suara. Maka, pendidikan tidak boleh memaksakan logika kaku. Ia harus merangkul imajinasi dan perasaan. Melalui cerita-cerita rakyat, bermain peran, dan latihan sederhana mengenali emosi, anak diperkenalkan pada keajaiban berpikir dan rasa.
"Mengapa kamu marah?"
"Apa yang kamu rasakan saat temanmu menangis?"
Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini membuka pintu menuju kesadaran awal akan diri dan empati terhadap orang lain.