Dalam filosofi Jawa, terdapat konsep nglmu (ilmu), kawruh (pengetahuan hidup), dan laku (praktik spiritual dan etika) sebagai satu kesatuan yang membentuk manusia bijak (manungsa waskita). Orang Jawa tidak melihat pengetahuan sekadar sebagai kumpulan data, tetapi sebagai jalan panguripan---penyambung hidup secara holistik.
Dalam beberapa serat atau karya sastra klasik dan ajaran Sunan Kalijaga, manusia diajak untuk eling lan waspada---sadar dan waspada terhadap dirinya sendiri dan realitas yang membentuknya. Ini paralel dengan prinsip conscientizao dari Paulo Freire: kesadaran kritis terhadap struktur dalam dan luar diri.
Budaya Jawa juga mengenal tapa ngrame---bertindak aktif dalam masyarakat namun senantiasa menjaga kejernihan batin. Ini adalah bentuk kehendak sadar (conscious volition) yang menolak pengaruh bias sosial, emosi massal, dan tekanan budaya luar yang tidak kritis.
Kesimpulan Integratif: Pendidikan sebagai Jalan Pembersihan dan Pembebasan
Dengan menyatukan landasan dari neurosains modern, psikologi perkembangan, epistemologi kritis, ajaran Islam, dan kebijaksanaan lokal Jawa, maka arsitektur pendidikan sadar-bias berdiri sebagai sistem yang holistik dan kontekstual.
Ia tidak sekadar membekali anak didik dengan kemampuan akademik, tapi juga memampukan mereka untuk:
Mengenali struktur bawah sadar mereka yang bias,
Melampaui pengaruh sosial dan emosional yang membelenggu kebebasan berpikir,
Menapaki jalan pembebasan diri dan pemurnian jiwa sebagai fondasi peradaban baru.
Inilah misi Perdikan---membangun manusia merdeka: berpikir merdeka, berjiwa merdeka, dan bertindak dengan kebijaksanaan. Sebagaimana semboyan lama para wali dan leluhur: Sapa ngerti, sapa eling, sapa waskita, iku kang lumaku marakak pepadhang.
Inilah esensi pendidikan perdikan yang mengajak setiap individu membangun kembali arsitektur mentalnya agar tidak terjebak dalam jerat manipulasi, melainkan mampu mengendalikan diri dan lingkungan secara bijak.