IEU-CEPA dan Amanat MPRS 1966: Jalan Menuju Kemandirian atau Ketergantungan Baru?
---
Pendahuluan --- posisi kritis yang tak boleh diabaikan
Perjanjian Komprehensif Kemitraan Ekonomi antara Indonesia dan Uni Eropa (IEU-CEPA) yang dirampungkan negosiasinya pada 23 September 2025 menandai babak baru hubungan ekonomi bilateral yang potensial mengangkat volume perdagangan dan investasi. Namun dari perspektif ketetapan MPRS No. XXIII Tahun 1966 --- yang menegaskan pembaharuan landasan kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan dengan semangat kemandirian dan pengelolaan ekonomi nasional --- muncul pertanyaan tajam: apakah harmonisasi antara CEPA dan amanat MPRS 1966 nyata atau justru saling bertentangan? Tulisan ini menyodorkan analisa mendalam dan kritis, berlandaskan data terbaru dan teks ketetapan, untuk menimbang keselarasan dan ketidaksesuaian antara kedua rezim kebijakan tersebut.Â
---
Gambaran singkat IEU-CEPA --- apa yang berubah secara praktis
Menurut keterangan resmi dan liputan media internasional, IEU-CEPA merupakan paket yang akan menghapus tarif untuk sekitar 80% produk ekspor Indonesia ke Uni Eropa (termasuk komoditas utama seperti produk sawit, tekstil, dan produk kelautan), membuka akses pasar jasa, serta mengikat klausul investasi, kepemilikan intelektual, standar lingkungan dan tenaga kerja, serta ketentuan terkait rantai pasok kritis (mis. mineral untuk green tech). Perjanjian ini diproyeksikan efektif pada 2027 setelah proses ratifikasi dan harmonisasi regulasi di kedua belah pihak. Secara makro, diperkirakan akan menstimulasi aliran investasi Eropa ke Indonesia dan memperbesar nilai perdagangan bilateral yang pada 2024 tercatat sekitar US$30 miliar.Â
---
MPRS No. XXIII/1966 --- intisari relevan terhadap kedaulatan ekonomi
Ketetapan MPRS No. XXIII/1966 (Pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan) lahir dalam konteks upaya pemulihan dan penataan ekonomi pasca-krisis 1965--1966. Dokumen ini menekankan prinsip-prinsip kemandirian ekonomi, pengaturan sumber daya nasional untuk kesejahteraan rakyat, pengendalian atas faktor-faktor produksi strategis, serta penentuan arah pembangunan nasional yang tidak semata tunduk pada kepentingan asing. Secara normatif, tap MPRS tersebut menjadi sumber kebijakan yang menekankan perlunya negara memprioritaskan kepentingan nasional dalam membuka ruang bagi investasi dan perdagangan asing.Â