Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Rumah Rakyat atau Rumah Oligarki?: Menimbang Program 3 Juta Rumah dalam Cahaya Tap MPRS No. XXIII/1966

13 Oktober 2025   03:06 Diperbarui: 13 Oktober 2025   03:06 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia punya sejarah panjang soal janji pembangunan yang konon untuk "rakyat banyak" --- namun praktik sering kali memperlihatkan jarak antara amanat ideologis dan realitas birokrasi-bisnis. Tap MPRS No. XXIII/1966 menegaskan bahwa landasan kebijakan ekonomi harus kembali kepada UUD 1945 dan menjunjung demokrasi ekonomi, perlindungan terhadap fakir-miskin, dan prioritas pada proyek yang memenuhi kebutuhan rakyat banyak. Sementara itu, Program 3 Juta Rumah Bersubsidi yang dicanangkan pemerintah hari ini adalah upaya ambisius menutup backlog perumahan dan menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di atas kertas --- tujuan itu sejalan. Namun masalah muncul pada detail implementasi: kuota, mekanisme pembiayaan, perolehan lahan, peran pengembang, dan pemerataan wilayah. Untuk menilai apakah Program 3 Juta benar-benar memperjuangkan rakyat---atau malah menjadi alat subsidi untuk sektor swasta---kita harus menimbangnya pasal-per-pasal Tap MPRS 1966. 

1. Landasan ideologis: Pasal 1---Pasal 6 (Demokrasi Ekonomi, prioritas rakyat)

Tap MPRS menegaskan: kemerosotan ekonomi disebabkan oleh penyimpangan dari pelaksanaan murni UUD 1945; landasan ekonomi harus menjamin demokrasi ekonomi, perekonomian sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, penguasaan cabang produksi penting oleh negara, pengakuan hak milik perorangan tetapi tidak boleh menjadi alat eksploitasi, dan jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak terlantar. (Pasal 1--6). Ini menempatkan kepentingan rakyat --- akses terhadap kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan perumahan --- di urutan prioritas. 

Program 3 Juta, secara deklaratif, menargetkan 3 juta unit rumah untuk MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) melalui skema FLPP, Tapera, KUR Perumahan, dan insentif keterlibatan perbankan serta pengembang. Jika kebijakan ini benar-benar menjadikan rumah sebagai hak sosial bagi fakir-miskin, ia selaras dengan semangat Pasal-Pasal awal Tap. Namun, kesejajaran ideologis tidak cukup; perlu bukti pelaksanaan yang memprioritaskan akses rakyat, bukan kemudahan bagi pengembang. Realitas lapangan memperlihatkan masalah distribusi unit, lokasi yang tidak strategis, dan sejumlah rumah subsidi dibiarkan kosong karena jauh dari tempat kerja dan infrastruktur. Ketika rumah subsidi ditujukan untuk memenuhi "backlog" tetapi ditempatkan di lokasi yang tidak menjamin akses pekerjaan, maka program kehilangan makna sosialnya dan berisiko menjadi mekanisme akumulasi modal bagi pengembang atau spekulan. 

2. Prioritas program: Pasal 11--16 (projek yang menghasilkan barang dan jasa diperlukan bagi rakyat banyak; pembangunan jangka pendek sinkron dengan penyerapan tenaga kerja)

Tap MPRS menetapkan bahwa prioritas nasional harus pada proyek yang menghasilkan barang/jasa yang sangat diperlukan rakyat banyak; program jangka pendek harus fokus stabilisasi dan rehabilitasi, serta sinkronisasi dengan peningkatan tenaga kerja efektif tiap tahun. (Pasal 11--16). Program 3 Juta mengklaim dampak multiplikator: membuka lapangan kerja konstruksi, memacu rantai nilai industri bahan bangunan, serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Data pemerintah menunjukkan realisasi penyaluran FLPP mengalami lonjakan: penyaluran FLPP pada 2025 tercatat ratusan ribu unit (angka realisasi beragam antar laporan---mis. 129.773 unit hingga pertengahan 2025 menurut catatan Kementerian PKP; target nasional juga ditingkatkan di angka ratus ribu unit per tahun). Ini mendukung klaim penciptaan lapangan kerja. 

Namun ada dua catatan krusial: (1) kualitas dan lokasi proyek; (2) apakah proyek ini benar-benar "untuk rakyat banyak" atau menfaat komersial yang diutamakan. Jika rumah subsidi dibangun di pinggiran tanpa konektivitas, atau hanya sedikit unit untuk MBR sementara sisanya adalah skema "komersial" bermerek-subsidi, maka prioritas yang diminta Pasal 11 tidak terpenuhi. Lebih lanjut, program yang memacu penyerapan tenaga kerja jangka pendek harus diiringi kebijakan skill-building dan kepastian kerja berkelanjutan --- bukan sekadar rigiditas angka unit yang dibangun.

3. Pencegahan eksploitasi dan monopoli: Pasal 6(g) dan Pasal 7 (larangan free-fight liberalism dan monopoli)

Tap MPRS mengutuk sistem free-fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi dan monopoli yang merugikan masyarakat. Pada titik ini kita harus waspada: subsidi pemerintah besar bisa dipergunakan untuk meningkatkan margin pengembang melalui insentif, pembebasan biaya, dan akses lahan murah. Laporan pengawasan menunjukkan problem: beberapa praktik pengembang tak bertanggung jawab, rumah subsidi yang akhirnya kosong, dan konsentrasi proyek di area yang menguntungkan secara finansial (mis. Jawa). Jika subsidi publik berujung pada peningkatan profit pengembang tanpa perlindungan terhadap penerima manfaat (mis. klausul anti-alih kepemilikan, jaminan kualitas, kontrol harga), maka Program 3 Juta berisiko memproduksi monopoli atau oligarki lahan-perumahan---persis yang dilarang oleh Tap MPRS. 

4. Pemerataan pembangunan daerah: Pasal 29--35 (pembangunan identik dengan pembangunan daerah)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun