Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah pada awal 2025 menimbulkan perdebatan: ada yang memuji sebagai langkah pro-rakyat untuk mengatasi malnutrisi; ada pula yang mempertanyakan keberlanjutan fiskal, desain operasional, dan dampak makroekonomi. Untuk menilai wajar atau tidaknya program ini---bukan sekadar dari standar politis sekarang tetapi dari perspektif landasan ideologis dan kebijakan yang termaktub dalam Ketetapan MPRS No. XXIII Tahun 1966---kita perlu menguji MBG terhadap pasal-pasal kunci dalam Tap MPRS tersebut: apakah MBG konsisten dengan amanat tentang prioritas pangan, demokrasi ekonomi, peran negara, dan pengawasan anggaran; dan di mana pula MBG berisiko melanggar atau menyimpang dari semangat ketetapan itu. Dokumen Tap MPRS itu menegaskan landasan kebijakan ekonomi nasional dan prioritas penanggulangan penderitaan rakyat.Â
Ringkasan pasal relevan (pilihan)
Beberapa pasal dalam Tap MPRS No. XXIII/1966 yang relevan untuk menilai MBG adalah sebagai berikut:
Pasal 15(b): prioritas program jangka pendek termasuk pentjukupan kebutuhan pangan (pemenuhan kebutuhan pangan).Â
Pasal 6(g): demokrasi ekonomi menjamin bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar berhak memperoleh jaminan sosial.Â
Pasal 11--12: kepentingan dalam negeri, khususnya kebutuhan ekonomi rakyat, harus didahulukan; proyek ekonomi harus menghasilkan barang/jasa yang sangat diperlukan rakyat.Â
Pasal 2: pengawasan efektif rakyat terhadap kebijakan ekonomi melalui DPR dalam penentuan APBN dan pemeriksa keuangan.Â
Pasal 7(b): menolak etatisme yang mematikan potensi sektor non-negara.Â
Ketetapan ini, meski dirumuskan dalam bahasa 1966, menempatkan negara sebagai fasilitator pembangunan yang harus menyeimbangkan peran negara dan inisiatif warga/komunitas---yaitu semangat demokrasi ekonomi dan prioritas pada pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.Â
Kesesuaian MBG terhadap Tap MPRS No. XXIII/1966 --- poin yang konsisten
1. Prioritas pemenuhan kebutuhan pangan (Pasal 15b)
MBG secara eksplisit menargetkan pemenuhan gizi bagi anak sekolah, ibu hamil, dan kelompok rentan --- tepat pada sumbu prioritas pangan yang disebut Tap MPRS. Program yang menyalurkan makanan pokok dan sumber protein tiap hari adalah jawaban operasional terhadap kebutuhan yang dinyatakan sebagai prioritas jangka pendek. Statistik awal dan target besar yang diumumkan pemerintah menunjukkan komitmen menuju cakupan massal.Â
2. Jaminan sosial untuk fakir miskin dan anak (Pasal 6g)
Salah satu nadi Tap MPRS adalah perlindungan sosial bagi kaum rentan. MBG, bila benar-benar memprioritaskan kelompok ini dan memastikan akses gizi dasar, memenuhi semangat jaminan sosial yang dimaksud. Aspek ini bukan sekadar politis tetapi substantif bagi penurunan angka stunting dan malnutrisi.Â
3. Pemanfaatan potensi domestik
Tap MPRS mendorong pemanfaatan potensi ekonomi nasional. Bila MBG dirancang untuk membeli hasil pertanian lokal, memberdayakan koperasi dan UMKM pangan, maka program ini sejalan dengan pasal tentang pengembangan potensi domestik serta penghidupan layak bagi warga. Pemerintah memang mengklaim keterlibatan koperasi, petani, dan pelaku UMKM dalam rantai suplai MBG.Â
Ketidaksesuaian dan risiko kebijakan --- titik kritik tajam
1. Risiko masuknya bentuk etatisme (Pasal 7b)
Tap MPRS jelas menolak etatisme yang mematikan inisiatif non-negara. Namun desain MBG yang sangat bergantung pada intervensi langsung negara dalam produksi dan distribusi pangan berpotensi menggeser peran pasar dan swasta, memicu distorsi harga, dan menekan inisiatif sektor swasta---terutama bila mekanisme pengadaan pusat tidak cukup transparan atau kompetitif. Tanpa batasan yang jelas, intervensi besar-besaran ini mudah berubah dari program jaminan sosial menjadi lumbung monopoli birokratis.Â
2. Keterkaitan dengan prinsip pengawasan DPR dan tata anggaran (Pasal 2)
Tap MPRS menegaskan tugas DPR dalam penentuan anggaran. MBG yang berskala triliunan rupiah menuntut mekanisme anggaran yang transparan, audit reguler, dan perhitungan beban fiskal jangka panjang. Kritik utama---yang juga disuarakan pakar---adalah apakah program ini sudah melalui kajian fiskal makro yang layak; apakah ada proyeksi yang realistis terkait sumber pendanaan tanpa mengorbankan pos prioritas lain; dan sejauh mana DPR diberi ruang pengawasan operasional. Bukti awal kritik mengenai keberlanjutan fiskal menegaskan kekhawatiran ini.Â
3. Produktivitas dan prioritas (Pasal 27--28)
Tap MPRS menyarankan penangguhan proyek yang tidak produktif. Pertanyaan kritis: apakah MBG merupakan investasi produktif (meningkatkan kapasitas SDM, produktivitas jangka panjang) atau proyek konsumsi besar yang hanya bersifat sementara? Tanpa indikator kapabilitas jangka panjang---mis. integrasi program gizi dengan peningkatan produksi lokal, reforma agraria, atau program pendidikan gizi---MBG berisiko dikategorikan sebagai konsumsi subsidi besar yang mengalahkan proyek produktif lain.Â
4. Koordinasi pusat-daerah (Pasal 32--33)
Tap MPRS menekankan otonomi daerah dan dekonsentrasi pengelolaan ekonomi daerah. Implementasi MBG yang terpusat berisiko menimbulkan konflik koordinasi: logistik, perbedaan kebutuhan daerah, kapasitas distribusi---semua menuntut peran aktif pemerintah daerah. Jika pusat membebani daerah tanpa dukungan fiskal dan teknis, prinsip koordinasi Tap MPRS dilanggar.Â
Implikasi kebijakan dan rekomendasi berdasarkan interpretasi Tap MPRS
1. Desentralisasi pengadaan dengan standar nasional --- beri ruang bagi koperasi dan UMKM daerah sebagai pemasok utama; pusat bertugas menetapkan standar gizi, subsidi, dan verifikasi. Ini menjaga semangat demokrasi ekonomi tanpa etatisme mutlak.
2. Mekanisme penganggaran transparan dan audit independen --- DPR dan BPK mesti diberi akses evaluasi berkala untuk memastikan program tidak merusak prioritas anggaran lain. Ini menegakkan Pasal 2.Â
3. Integrasi dengan kebijakan produktivitas agraria --- tautkan MBG dengan program peningkatan produktivitas petani (input, teknologi, pasar) sehingga MBG menjadi stimulus produksi lokal, bukan beban konsumsi. Ini menjawab kekhawatiran produktivitas.Â
4. Indikator hasil yang jelas --- turunannya harus terukur: penurunan stunting, peningkatan absensi sekolah, dampak pada pendapatan petani. Tanpa indikator, program hanya menjadi slogan pangan.Â
Penutup --- antara amanat dan praktik
Tap MPRS No. XXIII/1966 menyediakan landasan normatif yang kuat bagi program negara untuk menanggulangi penderitaan rakyat dan menjamin pemenuhan pangan. MBG, dalam niatnya, sejalan dengan beberapa amanat tersebut: prioritas pangan dan jaminan sosial. Namun titik tumpu penilaian bukanlah niat, melainkan desain kebijakan: bagaimana MBG dibiayai, siapa yang diberdayakan dalam rantai suplai, mekanisme pengawasan, dan apakah program diorganisasi sedemikian rupa sehingga mendorong produktivitas jangka panjang ketimbang menciptakan ketergantungan atau etatisme yang dikecam Tap MPRS. Tanpa perbaikan desain-desain itu, MBG berisiko menjadi contoh baik di dokumen tetapi buruk dalam praktik --- lupa di buku, diingat lewat nasi dan telur yang tak pernah cukup.Â
---
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI