Pemangkasan jumlah dan peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kerap dikemas sebagai "keputusan teknokratis" demi efisiensi fiskal dan perbaikan tata kelola. Di Jawa Barat, wacana merampingkan BUMD --- termasuk gagasan superholding, restrukturisasi komisaris, dan relokasi anggaran --- sedang berjalan dalam kerangka narasi efisiensi itu. Namun, di balik jargon efisiensi, ada pertanyaan ideologis yang lebih mendasar: apakah pemangkasan BUMD ini benar-benar memperbaiki fungsi negara untuk rakyat kecil (marhaen), atau justru mereduksi ruang ekonomi publik yang selama ini menjadi andalan kedaulatan ekonomi lokal? Tulisan ini membaca fenomena tersebut dari sisi data, berita terkini, teori ekonomi, dan warisan pemikiran revolusioner Indonesia.Â
Berita dan data terkini: apa yang terjadi di lapangan?
Sejak awal 2025, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menempatkan agenda efisiensi anggaran dalam prioritas APBD Perubahan, dengan relokasi hingga triliunan rupiah untuk program prioritas---sebuah sinyal bahwa pembenahan anggaran jadi fokus utama. Pada saat yang sama, ada dorongan formal untuk "mematangkan kajian" pembentukan superholding BUMD yang disebut-sebut dapat menyederhanakan struktur dan meningkatkan sinergi. DPRD dan birokrat daerah tampak mendiskusikan opsi-opsi ini secara aktif.Â
Dari sisi portofolio, BPS Provinsi Jawa Barat menerbitkan profil BUMD yang menunjukkan keragaman fungsi: dari jasa publik, infrastruktur, hingga energi dan penunjang perekonomian lokal. Laporan ini juga menyajikan indikator keuangan BUMD yang beragam---ada yang untung, ada yang rugi; ada yang padat modal, ada yang padat tenaga kerja. Singkatnya: BUMD bukan satu entitas homogen yang gampang "dipangkas" tanpa konsekuensi berbeda.Â
Kasus-kasus lokal---seperti dugaan gagal bayar dan masalah tata kelola pada beberapa BUMD kabupaten/kota---serta pemeriksaan BPK terhadap sejumlah entitas menunjukkan adanya masalah nyata pada pengawasan dan governance. Namun masalah governance bukan jawaban otomatis untuk solusi "memangkas" kepemilikan negara: sering kali solusi yang lebih tepat adalah perbaikan manajemen, audit, transparansi, dan akuntabilitas.Â
Efisiensi versus nilai publik: bingkai teori yang relevan
Debat tentang apakah SOE/BUMD harus dipangkas atau direnovasi bukan hal baru dalam literatur ekonomi publik. Kajian-kajian besar (IMF, OECD, IADB, studi akademik) menunjukkan hasil yang campur aduk: reformasi dan privatisasi tidak selalu memberikan efisiensi yang konsisten---hasilnya bergantung pada konteks institusional, desain reform, dan tujuan non-finansial yang dipikul perusahaan negara (mis. pelayanan publik, pemerataan, ketahanan). Dengan kata lain, reformasi BUMD yang berhasil memerlukan desain yang peka pada tujuan publik dan mekanisme pengawasan yang kuat.Â
Dari perspektif ekonomi kesejahteraan dan public choice, ada dua ancaman saat negara "memangkas" kehadiran ekonomi publik tanpa desain yang jelas. Pertama, bila pemangkasan dilakukan karena tekanan politis atau untuk membuka ruang bagi oligarki dan privat yang terafiliasi, maka distribusi manfaat cenderung berpindah dari marhaen ke elite (government capture). Kedua, bila pemangkasan mengabaikan kegunaan publik BUMD (seperti layanan universal, subsidi silang untuk wilayah terluar), efisiensi alokatif jangka panjang bagi masyarakat bisa menurun meski neraca fiskal jangka pendek tampak rapi. Literatur keseluruhan menganjurkan: reformasi BUMD harus diorientasikan pada "public value", bukan sekadar angka profit.Â
Perspektif ideologis: Marhaenisme dan cita-cita kedaulatan ekonomi
Bung Karno mengenalkan figur "Marhaen" sebagai simbol jiwa rakyat kecil yang harus jadi subjek, bukan objek, pembangunan nasional. Prinsip dasar itu bukan romantisisme petani semata; ia menandaskan bahwa kedaulatan nasional menuntut kemandirian ekonomi rakyat---bukan penyerahan mutlak kepada pasar luar atau kepada akumulasi modal privat. Kutipan-kutip kutipan Bung Karno seperti "Beri aku 1.000 orang tua... Beri aku 10 pemuda..." bukan hanya retorika gerakan; ia menekankan peran rakyat dan generasi yang kritis sebagai motor perubahan. Jika BUMD adalah salah satu instrumen kedaulatan ekonomi daerah, maka pemangkasan yang mengabaikan fungsi marhaen akan menjadi pengkhianatan terhadap semangat itu.Â