Di tengah kabar turunnya angka kemiskinan dan inflasi yang "terkendali" secara statistik, wacana dan praktik kenaikan berbagai tunjangan anggota DPR kembali menyeruak. Rakyat marhaen---petani kecil, buruh, nelayan, guru honorer---masih berkutat dengan harga beras, biaya sekolah, dan ongkos hidup; sementara di Senayan, angka-angka fasilitas dan tunjangan berdentang naik. Inilah potret ironis demokrasi elektoral: wakil rakyat semakin nyaman, yang diwakili kian hemat napas. Fakta-fakta terbaru menunjukkan bukan gaji pokoknya yang naik, melainkan komponen tunjangan tertentu---terutama tunjangan perumahan---yang membuat total penerimaan anggota dewan melonjak tajam. Klarifikasi resmi menyebut gaji pokok tetap, namun tunjangan rumah Rp50 juta/bulan dan penyesuaian tunjangan lain (beras, BBM) membuat take-home pay bisa menembus puluhan juta hingga mendekati Rp100 juta/bulan menurut berbagai laporan.Â
Data: "Gaji Pokok Tetap", Tunjangan Melejit
Secara normatif, gaji pokok anggota DPR memang kecil---sekitar Rp5,04 juta---tetapi dibalut aneka tunjangan struktural dan fungsional (keharmonisan, komunikasi intensif, fungsi pengawasan/anggaran, listrik-telepon) plus fasilitas lain. Rilisan dan ringkasan media arus utama memaparkan komponennya, termasuk besaran tunjangan komunikasi intensif di kisaran Rp15--16 juta, tunjangan kehormatan Rp5,5--6,7 juta, dan lain-lain. Komponen yang menjadi sorotan periode 2024--2029 adalah tunjangan rumah Rp50 juta/bulan (menggantikan rumah dinas), dan penyesuaian tunjangan beras serta BBM. Di titik ini, bukan angka gaji pokok yang krusial, melainkan arsitektur tunjangan yang menggelembungkan total penerimaan.Â
Klarifikasi pimpinan DPR memang menyatakan tidak ada kenaikan gaji pokok; publikasi resmi kampus/instansi juga menegaskan narasi itu seraya mengakui adanya kompensasi perumahan Rp50 juta/bulan. Masalahnya, bagi rakyat kecil, beda antara "gaji" dan "tunjangan" adalah semantik elitis: yang dirasakan tetap total uang negara yang mengalir ke saku wakilnya. Narasi "tidak ada kenaikan gaji" mudah terdengar seperti permainan kata ketika angka-angka tunjangan justru membengkak.Â
Konteks Sosial-Ekonomi: Statistik Baik, Dapur Tetap Berasap Tipis
Badan Pusat Statistik merilis kemiskinan Maret 2025 turun menjadi 8,47% (23,85 juta orang), dan inflasi Juli 2025 berada di kisaran 2,37% (yoy), dengan dorongan harga beras dan biaya sekolah pada sisi bulanan. Secara makro, ini kabar baik. Tetapi bagi marhaen, perasaan keadilan tidak otomatis ikut turun bersamaan dengan angka kemiskinan. Ketika beras---makanan pokok---menjadi pendorong inflasi, kenaikan tunjangan beras bagi anggota dewan justru terasa kontras. Marhaen menawar harga di pasar, sementara elit menambah pos tunjangan.Â
Di sisi lain, perbandingan kasar yang beredar luas---misalnya antara pendapatan anggota DPR dan pendapatan guru---memicu moral outrage: publikasi pendidikan populer menaksir total penerimaan DPR (gaji+tunjangan) dapat mencapai sekitar Rp50-an juta dan mendekati Rp100 juta bila memasukkan tunjangan perumahan. Bandingkan dengan guru honorer atau pekerja sektor informal yang bahkan belum menyentuh UMK di banyak daerah. Inequality of attention---siapa yang disenangkan paling dulu oleh kebijakan fiskal---mendadak telanjang.Â
Marhaenisme: Ukurannya Rakyat Kecil, Bukan Kenyamanan Elite
Bung Karno mengingatkan bahwa demokrasi yang kita kehendaki adalah demokrasi politik sekaligus demokrasi sosial (ekonomi)---"kesejahteraan sosial" bukan aksesoris, melainkan asas. Pidato 1 Juni 1945 menegaskan kebangsaan, internasionalisme, permusyawaratan (demokrasi), dan kesejahteraan sosial sebagai inti negara merdeka. Jika demokrasi berhenti pada ritual pemilu dan perjamuan elite di gedung parlemen, roh Pancasila berubah jadi poster, bukan kompas.Â
Dalam kerangka Marhaenisme, negara harus berpihak pada kaum kecil---si Marhaen yang ditemui Bung Karno di pinggir sawah, simbol produsen kecil yang diperas struktur. Keadilan bukan sekadar menurunkan angka kemiskinan, tetapi menata ulang prioritas belanja negara: pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan rakyat harus menang melawan kenyamanan birokrasi. Tunjangan beras untuk pejabat terasa menciderai ketika subsidi pangan untuk rakyat masih serba terbatas.Â