Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Bandung

Tragedi Agraria di Jantung Bandung: Catatan Marhaenis untuk Cipedes Hegar

19 Agustus 2025   14:53 Diperbarui: 19 Agustus 2025   15:03 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah riuh pembangunan kota dan retorika panggung tentang keadilan sosial, sebuah gang kecil di Cipedes Hegar, Kecamatan Cicendo --- sebuah lorong yang selama puluhan tahun menjadi urat nadi mobilitas dan interaksi komunitas --- menjadi panggung lakon baru: tembok bata yang menutup akses warga, klaim kepemilikan yang kabur, dan perdebatan antara rakyat kecil dengan aktor berkuasa yang membangun atas nama "fasilitas" atau "investasi". Kasus yang tampak lokal ini sesungguhnya memperlihatkan ulang luka struktural agraria yang lebih luas: relasi tanah, kekuasaan, dan hak hidup rakyat yang terus tergerus. 

Sebagai Marhaenis yang membaca setiap peristiwa melalui lensa kepentingan rakyat kecil---petani, buruh, pemilik rumah sederhana, warga gang---kita harus menyuarakan dua kebenaran sekaligus: fakta faktual dan hukum moral. Fakta faktualnya, pada bulan September 2024 warga Gang Cipedes Hegar dibuat gerah setelah tembok setinggi kira-kira tiga meter dipasang dan akses jalan umum ditutup mendadak, tanpa sosialisasi memadai; ketegangan itu memuncak sampai akhirnya tembok dibongkar setelah mediasi yang melibatkan pihak yayasan, warga, dan pemerintah. Kejadian ini terekam dalam liputan media dan rekaman video yang viral. 

Namun di balik peristiwa "tembok-dibuat--tembok-dirobohkan" terdapat lapisan-lapisan masalah: siapa pemilik tanah asli? Apakah ada bukti kepemilikan yang ditunjukkan? Bagaimana peran kelurahan dan pemkot Bandung dalam melindungi akses publik dan hak warga? Berapa jumlah keluarga yang terdampak aksesnya? Data-data semacam ini, yang mestinya menjadi landasan kebijakan dan penegakan hak, kerap samar, terfragmentasi, atau hanya muncul setelah tekanan publik --- sebuah pola yang menguntungkan aktor berakal modal. Laporan awal menunjukkan bahwa klaim kepemilikan yang diajukan pihak yayasan tidak langsung disertai bukti kuat yang bisa diterima seluruh warga, sehingga konflik administratif dan sosial muncul. 

Dari soal jalan kecil ke soal struktur: mengapa ini Marhaenis?

Marhaenisme bukan sekadar nostalgia ideologis; ia adalah alat analisis --- menaruh rakyat yang bekerja dan bergelut dengan tanah sebagai titik fokus. Tanah bagi Marhaen bukan komoditas abstrak: ia adalah sumber penghidupan, akar sosial, dan ruang komunitas. Ketika akses jalan ditutup, implikasinya nyata: biaya waktu bertambah, akses ke fasilitas publik (masjid, sekolah, pasar) terhambat, anak-anak harus berjalan memutar lebih jauh, warga lanjut usia kehilangan akses mudah ke layanan kesehatan. Kerugian ini tidak hanya soal mobilitas; ia melemahkan kemampuan reproduksi kehidupan sehari-hari rakyat kecil. Latar historis Indonesia menunjukkan, pengurangan akses dan perampasan tanah sering berpola: klaim legalitas dipakai untuk menjustifikasi privatisasi ruang publik demi kepentingan institusi kuat --- korporasi, yayasan, atau lembaga keagamaan/pendidikan yang memiliki modal. 

Kritik: Kelemahan tata kelola dan inkonsistensi aparat

Analisis kritis harus menunjuk pelbagai titik kegagalan: pertama, pendaftaran dan peta kepemilikan lahan yang belum transparan atau tidak divisualisasikan kepada publik. Kedua, minimnya partisipasi warga ketika keputusan yang memengaruhi ruang publik dibuat. Ketiga, keengganan aparat untuk bertindak proaktif melindungi hak-hak akses umum---hingga konflik terjadi dan harus diselesaikan secara ad-hoc. Dalam kasus Cipedes Hegar, peristiwa pembongkaran tembok hanya terjadi setelah protes warga dan sorotan publik; ini memunculkan pertanyaan: akankah warga yang kurang berdaya selalu harus memaksa agar haknya dipulihkan? Jawabannya menunjukkan kelemahan tata kelola yang harus dikoreksi. 

Data adalah senjata --- namun data sering dilupakan

Kebijakan pro-rakyat memerlukan data: jumlah rumah tangga terdampak, peta legalitas, catatan administrasi kelurahan, bukti sertifikat, hingga catatan historis penggunaan jalan. Ironisnya, dalam konflik semacam ini, data sering kali muncul terlambat atau dimanipulasi untuk menjustifikasi langkah sepihak. Oleh karena itu, rekomendasi teknis Marhaenis pertama: pemerintah daerah wajib mempublikasikan peta partisipatif hak guna lahan dan akses publik---termasuk jalur-jalur yang telah digunakan masyarakat lebih dari 20 tahun---sebagai prasyarat perizinan. Praktik semacam ini mengurangi ruang bagi klaim sepihak dan memperkuat pegangan hukum warga.

Soal hukum dan moralitas: siapa yang berhak?

Dalam kata-kata Bung Karno: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Kutipan ini menggetarkan relevansi: problem agraria hari ini sering muncul bukan karena penjajahan luar, tetapi karena ketidakseimbangan kekuasaan internal---antara modal dan rakyat, elite lokal dan komunitas. Bung Karno selalu menempatkan rakyat sebagai subjek sejarah, bukan objek; ia mengingatkan agar bangsa tidak membiarkan elite mengekstraksi keuntungan dari kehidupan rakyat. Kutipan-kutipan Bung Karno tentang keadilan sosial dan revolusi rakyat menjadi panggilan etis untuk menilai kembali siapa yang dilindungi hukum dan siapa yang sebenarnya menikmati manfaat pembangunan. 

Begitu pula suara Tan Malaka yang bergaung: "Partai mesti berhubungan rapat dengan massa..." --- pesan ini relevan karena problem agraria menuntut organisasi rakyat yang kuat; tanpa itu, klaim-klaim administratif yang abstrak akan menggilas akses hidup dasar. Tan Malaka menekankan keterikatan elite politik atau organisasi kepada rakyat sebagai syarat kepemimpinan revolusioner; dalam konteks Cipedes Hegar, warga perlu mekanisme kolektif yang terorganisir untuk mempertahankan hak-hak mereka. 

Rekomendasi kebijakan Marhaenis --- teknis dan normatif

1. Peta Akses Publik Partisipatif: Setiap pemerintah kota (termasuk Pemkot Bandung) wajib menyelenggarakan pemetaan akses publik (jalan, gang, fasilitas umum) yang dibuat bersama warga dan dipublikasikan---jika ada rencana pembangunan yang menyinggung area ini, moratorium sementara harus diberlakukan sampai verifikasi partisipatif selesai.

2. Transparansi Bukti Kepemilikan: Setiap klaim kepemilikan harus disertai bukti resmi (sertifikat, peta ukur) yang dapat diakses publik; klaim historis harus diuji melalui keterangan saksi warga dan arsip kelurahan.

3. Prosedur Mediasi Lokal: Selesaikan sengketa melalui mediasi lokal yang melibatkan perwakilan warga, RT/RW, kelurahan, dan perwakilan pengklaim --- bukan penanganan sepihak.

4. Perlindungan Hak Akses Minoritas Sosial: Produk kebijakan yang mempengaruhi akses warga lanjut usia, difabel, dan anak-anak harus mendapat penilaian dampak sosial sebelum dilaksanakan.

5. Penguatan Organisasi Rakyat: Dukungan teknis dan hukum untuk pembentukan forum warga yang dapat mengakses bantuan hukum pro bono saat haknya terancam.

Rekomendasi ini bukan doktrin ideologis kosong, melainkan langkah-langkah praktis yang menggabungkan prinsip Marhaenis: menempatkan rakyat sebagai ukur kebaikan kebijakan.

Menutup luka kecil, mencegah luka besar

Kasus Cipedes Hegar tampak selesai ketika tembok dibongkar, namun luka struktural tidak otomatis terselesaikan. Jika kita hanya menangkap bentuk luarnya---temboknya---sementara akar masalah (ketidakjelasan kepemilikan, kelemahan partisipasi, dan akses data publik) dibiarkan, kita hanya menunda kelahiran tragedi baru di lorong lain. Bung Karno mengingatkan bahwa perjuangan sesungguhnya adalah melawan penindasan yang lahir dari ketidakadilan sosial; memperjuangkan akses jalan kecil adalah bagian dari perjuangan itu. 

Kesimpulan: Marhaenis berdiri di sisi gang, bukan garpu traktor

Sebagai penutup, catatan Marhaenis terhadap Cipedes Hegar menuntut dua hal: empati institusional dan reformasi struktural. Empati institusional berarti negara dan aparat lokal secara proaktif melindungi hak-hak dasar warga---termasuk hak atas akses. Reformasi struktural berarti membuka data, memperkuat partisipasi, dan menegakkan hukum yang berpihak kepada kesejahteraan rakyat kecil, bukan pada logika keuntungan tanpa batas. Seperti yang pernah diingatkan Bung Karno: bangsa ini harus berani mengambil nasib dalam tangan sendiri --- bukan menyerahkan jalan-jalan kecilnya pada logika privatisasi tanpa pertanggungjawaban. 

--- 

---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bandung Selengkapnya
Lihat Bandung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun