Mohon tunggu...
dimas muhammad erlangga
dimas muhammad erlangga Mohon Tunggu... Aktivis GmnI

Baca Buku Dan Jalan Jalan Live In

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PPN 12 Persen: Marhaen Membayar, Elit Menikmati

19 Agustus 2025   06:49 Diperbarui: 19 Agustus 2025   06:49 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negeri yang dibangun atas nama "kerakyatan", keputusan politik fiskal sering kali berhenti sebagai jargon. Kenaikan dan perluasan pajak konsumsi---PPN---adalah contoh paling telanjang. Pada 14 Agustus 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi terhadap ketentuan PPN 12% dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Putusan itu menegaskan bahwa desain kenaikan tarif PPN adalah domain pembentuk undang-undang dan bukan persoalan konstitusional yang melanggar hak warga. Secara yuridis, MK menyatakan permohonan "tidak beralasan menurut hukum". Secara politis-ekonomis, sinyalnya jelas: beban fiskal via konsumsi tetap menjadi tulang punggung penerimaan negara, apa pun konsekuensinya bagi dompet rakyat kebanyakan.

Namun hingga Agustus 2025, status kebijakan PPN berada dalam "dua kebenaran yang berkompetisi". Di satu sisi, amanat UU HPP mematok kenaikan standar PPN menjadi 12%. Di sisi lain, pemerintah pusat menyampaikan bahwa kenaikan 12% itu difokuskan untuk barang/jasa mewah, sementara kebutuhan pokok tetap dikecualikan atau difasilitasi. Pernyataan resmi Sekretariat Kabinet/Setneg menegaskan: "kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah... untuk barang dan jasa selain yang tergolong mewah tidak ada kenaikan PPN." Pesan politiknya: lindungi mayoritas, bebankan minoritas kaya. Pertanyaannya: apakah implementasi teknis, basis pajak, dan perilaku pasar benar-benar menghasilkan efek yang dimaksud?

Fakta dan konteks kebijakan

Pertama, landasan hukumnya terang. UU 7/2021 (UU HPP) mengubah struktur PPN: tarif standar dinaikkan dari 10% menjadi 11% per April 2022 dan "paling lambat" menjadi 12% di tahun 2025. Pada saat yang sama, daftar negatif/pengecualian direvisi---kebutuhan pokok, layanan kesehatan, pendidikan, dan sebagian objek strategis tetap diberi pembebasan atau tidak dipungut sesuai ketentuan lebih lanjut. Ini penting, karena desain pengecualian menentukan seberapa regresif atau tidak regresif PPN di keranjang belanja rumah tangga marhaen.

Kedua, kondisi makro "kini". BPS merilis inflasi Juli 2025 yoy 2,37% (mtm 0,30%). Tekanan utama berasal dari pangan. Di sisi lain, tingkat kemiskinan Maret 2025 berada di 9,12%---naik dari September 2024 (9,00%). Pergerakan ini menunjukkan rapuhnya daya beli lapisan bawah, bahkan sebelum dampak penuh konfigurasi PPN 12% (apa pun variannya) benar-benar tercermin dalam harga-harga ritel yang dibayar konsumen.

Ketiga, sisi penerimaan. Setelah sempat naik pada 2022--2023, rasio pajak kembali melemah: estimasi berbagai rilis menyebut 2024 sekitar 10,07--10,08% PDB dan outlook 2025 hanya ~10,03%. Ini alarm fiskal: target tax ratio yang lebih tinggi---apalagi menuju 13%---terlihat makin berat tanpa reformasi basis pajak yang kredibel. Mengandalkan PPN sebagai "dongkrak" cepat adalah godaan yang besar, tetapi juga berisiko sosial.

Masalah mendasar: regresivitas pajak konsumsi

Debat akademik internasional tentang regresivitas VAT/PPN sudah panjang. Studi OECD menunjukkan, bila diukur terhadap pendapatan saat ini, VAT cenderung tampak regresif; diukur terhadap pengeluaran seumur hidup, gambarnya bisa lebih netral. Tetapi pada praktik kebijakan jangka pendek---ketika upah riil stagnan, tabungan terbatas, dan inflasi pangan sensitif---beban PPN di Indonesia nyaris tak terhindarkan jatuh lebih berat pada kelompok berpendapatan rendah, karena proporsi belanja konsumsi mereka terhadap pendapatan jauh lebih tinggi. Ringkasnya: teori bisa bernuansa, realitas marhaen lugas.

Dalam konteks negara berpendapatan menengah seperti Indonesia, literatur Bank Dunia juga mengingatkan: insentif dan pengecualian PPN sering dinikmati kelompok atas (karena merekalah yang membelanjakan lebih banyak untuk barang/jasa yang difasilitasi), sementara kelompok bawah membayar PPN "di kasir" untuk hampir semua kebutuhan di luar negative list. Ketika desain fasilitas salah sasaran, efeknya ganda: penerimaan bocor dan pemerataan gagal.

Marhaenisme: lensa ideologis untuk menilai kebijakan pajak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun