Pendahuluan
Di tengah dinamika politik yang stagnan dan sistem ekonomi yang masih timpang, muncul pertanyaan mendasar: bisakah kita membangun sebuah model masyarakat yang bebas dari penindasan struktural---semangat anarkis---namun tetap berakar pada nilai-nilai Pancasila yang hidup di kalbu rakyat Indonesia? Gagasan "Anarkisme Pancasila" mencoba menjawab itu: bukan sebagai kontradiksi, melainkan sebuah sintesis konsep gerakan kerakyatan dan pembebasan sosial yang selaras dengan falsafah nasional.
Realitas Sosial-Ekonomi Indonesia Terkini
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2025, Gini ratio Indonesia tercatat sebesar 0,375, menurun dari 0,381 pada September 2024---ini menandakan sedikit penurunan ketimpangan pengeluaran penduduk . Meski demikian, ketimpangan di perkotaan jauh lebih tinggi (0,395) dibanding di pedesaan (0,299) . Penduduk 40% terbawah hanya menguasai 18,65% pengeluaran nasional, sedangkan 20% terbawah tinggal 45,56% .
Data ini menggambarkan secara konkret: meskipun tren ketimpangan yang sedikit menurun, konsentrasi ekonomi masih kuat di kelompok atas dan urban. Dalam konteks politik, demokrasi tampak prosedural namun tak berdaya menjangkau rakyat kecil, terjebak dalam oligarki dan partai politik yang terkooptasi oleh segelintir elite. Ini menandakan urgensi bagi suatu alternatif sosial politik yang berbasis bottomup, bukan topdown.
Warisan Soekarno: Pancasila Sebagai Jiwa Kerakyatan
Soekarno memperkenalkan Pancasila dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, dengan mengusulkan lima prinsip: kebangsaan Indonesia, internasionalisme (perikemanusiaan), mufakat, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan . Ia menegaskan bahwa sila kedua---internasionalisme atau perikemanusiaan---adalah inti dari nasionalisme sejati yang berkeadilan sosial .
Dalam naskah pidato 1 Juni itu, Soekarno menyatakan:
> "Saya mengatakan bahwa Pancasila itulah isi jiwa yang terdalam dari rakyat Indonesia... Pancasila adalah filsafat yang hidup dalam kalbu bangsa Indonesia."Â
Sementara dalam pidato di sidang PBB, ia menggambarkan Pancasila sebagai landasan bagi internasionalisme yang adil dan beradab. Soekarno tidak melihat Pancasila sebagai instrumen negara yang menindas, melainkan sebagai ekspresi kebebasan kolektif rakyat, semangat perlawanan terhadap kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.