Sudah 300 hari sejak DPRD Provinsi Jawa Barat periode 2024--2029 diresmikan---dimulai 2 September 2024 dan mencapai tonggak 300 hari pada 28 Juni 2025. Wacana besar hari ini: Apakah anggota legislatif ini benar-benar mewakili rakyat di pelosok, ataukah lebih cenderung jadi wakil elit yang jauh dari denyut kebutuhan Marhaen?
1. DPRD di Mata Rakyat Marhaen
Catatan terbaru menunjukkan aktivitas DPRD terus berjalan: Komisi IV, misalnya, tengah menelisik realisasi anggaran dan pelaksanaan program mitra kerja dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur 2024 . Artinya, fungsi pengawasan aktif---tapi, apakah dampaknya sampai ke petani, buruh kecil, perempuan miskin yang hidup di balik data?
Fraksi-fraksi juga giat merespon isu-isu strategis: penagihan tunggakan BPJS Rp330miliar, kajian pemekaran provinsi baru, dan ketersediaan sekolah negeri . Ketiganya langsung menyentuh ruang hidup rakyat. Namun, di balik rapat paripurna megah, suara rakyat kecil---yang menurut Bung Karno disebut kaum Marhaen---masih terasa tergerus oleh formalitas politik.
2. Marhaen: Realitas dan Filosofi
Soekarno pernah menjelaskan dalam pidatonya pada Konferensi Besar GMNI (17 Februari 1959):
> "Dan siapakah yang saya namakan kaum Marhaen itu? ... setiap rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat: yang telah dimelaratkan oleh setiap kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme ... Kaum Marhaen ini terdiri dari tiga unsur: ... kaum tani melarat Indonesia ..."Â Â
Lebih jauh, Bung Karno menyatakan:
> "Marhaenisme adalah asas yang paling cocok untuk gerakan rakyat di Indonesia ... Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen ... menuju kepada hilangnya kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme."Â Â
"Marhaen" menyelaraskan gagasan ideologis menjadi alat ukur wakil rakyat sejati: mereka yang secara nyata menghadirkan perubahan pada buruh tani, nelayan tradisional, dan warga miskin struktural. Bukan hanya lip service, tapi aksi konkret.