Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Author, BNSP Certified Screenwriter, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ijazah Palsu Jadi Isu. Begini Ternyata Sejarahnya Pemberian Simbol Kompetensi Ini

22 Juli 2025   10:29 Diperbarui: 22 Juli 2025   10:29 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ijazah Palsu Jadi Isu. Begini Ternyata Sejarahnya Pemberian Simbol Kompetensi Ini, Sumber Foto: ChatGPT

Ijazah palsu bisa jadi muncul dalam masyarakat kita hari ini karena telah menjadi tiket utama menuju kehidupan yang dianggap layak. 

Sehingga tak heran jika ijazah palsu jadi disakralkan layaknya jimat keberhasilan: tanpa ijazah, seseorang dianggap tidak terdidik, tidak layak kerja, bahkan tidak pantas didengar pendapatnya. 

Tapi benarkah ijazah adalah jaminan kecerdasan, kejujuran, dan kompetensi?

Fenomena ijazah palsu kembali ramai dibicarakan. Beberapa tokoh bahkan diduga menggunakan ijazah yang tak valid untuk menduduki jabatan publik. 

Namun, lebih dalam dari itu, masalahnya bukan hanya soal dokumen palsu tapi tentang bagaimana kita memaknai pendidikan dan simbol-simbol formalnya.

Dari Mana Asal Sekolah dan Ijazah?

Sejarah pendidikan formal dapat ditelusuri hingga ribuan tahun lalu. Di Mesir Kuno dan Tiongkok kuno, pendidikan sudah terorganisir, meski hanya diperuntukkan bagi kelas elit. 

Namun konsep sekolah seperti yang kita kenal hari ini berasal dari peradaban Yunani dan Romawi. Menurut sejarawan pendidikan, sistematisasi kurikulum dan struktur kelas pertama kali dikembangkan oleh para filsuf seperti Plato dan Aristoteles.

Lalu, kapan ijazah pertama kali diperkenalkan?

Menurut laporan UNESCO dan tulisan Prof. Paul Monroe dalam A Textbook in the History of Education, bentuk awal dari ijazah ditemukan di Universitas al-Qarawiyyin (didirikan tahun 859 M di Fez, Maroko) dan Universitas al-Azhar di Kairo. 

Di dunia Barat, sistem pemberian gelar akademik mulai dikenal di Universitas Bologna (1088 M) dan Universitas Paris (abad ke-12). Ijazah waktu itu adalah surat izin untuk mengajar atau menyampaikan ilmu bukan sekadar tanda pernah belajar.

Ijazah dan Simbolisme Sosial

Masalahnya, di era modern, ijazah bukan hanya penanda akademik. Ia telah menjadi simbol status sosial. Semakin tinggi gelar seseorang, semakin tinggi pula nilai sosial yang diasosiasikan padanya. 

Hal ini tercermin dalam budaya birokrasi kita di mana gelar di kartu nama sering lebih panjang dari nama pemiliknya.

Tak heran jika kemudian muncul praktik jual beli ijazah. Dilansir dari laporan Kompas Investigasi tahun 2023, ratusan ijazah palsu dari universitas abal-abal beredar dengan mudah di pasar gelap, lengkap dengan transkrip nilai dan cap legalisir. 

Bahkan ada yang menawarkan "paket kelulusan" hanya dalam hitungan hari.

Ini mengkhawatirkan bukan hanya karena melanggar hukum, tapi juga karena menunjukkan bahwa sistem kita menilai seseorang bukan dari kompetensinya, melainkan dari selembar kertas.

Ketika Ijazah Tak Menjamin Kompetensi

Betapa banyak kita jumpai orang bergelar tinggi tapi tak sanggup berpikir kritis. Banyak sarjana tak bisa menulis atau berbicara dengan baik di bidangnya sendiri. 

Dalam dunia kerja, banyak perusahaan akhirnya mengabaikan gelar, dan lebih memilih uji keterampilan atau portofolio.

Menurut laporan World Economic Forum 2020, 50% pekerja akan membutuhkan pelatihan ulang karena gap antara pendidikan formal dan kebutuhan industri. 

Hal ini juga diperkuat oleh hasil Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang menunjukkan bahwa banyak lulusan universitas justru menganggur atau bekerja tidak sesuai bidangnya.

Jadi, untuk apa kita terus mendewakan ijazah?

Pendidikan Harus Kembali ke Esensi

Pendidikan seharusnya membentuk manusia, bukan hanya menghasilkan lulusan. Ijazah adalah bonus administratif, bukan tujuan akhir. Kita perlu kembali pada nilai dasar pendidikan: membangun nalar, karakter, dan keahlian.

Pendidikan yang baik tak semestinya bergantung pada gedung mewah atau gelar akademik. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, "Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, dan jasmani agar dapat memajukan kesempurnaan hidup."

Saatnya Revisi Cara Pandang Kita

Selama ijazah dijadikan tolok ukur utama keberhasilan, maka selama itu pula kita menanam benih ketimpangan, kemunafikan, dan stagnasi. Sudah saatnya kita ubah paradigma dengan menghargai kompetensi, kejujuran, dan integritas di atas sekadar gelar.

Karena sesungguhnya, bangsa yang besar bukan dibangun oleh tumpukan ijazah, apalagi sampai menggunakan ijazah palsu, melainkan oleh orang-orang yang tahu cara berpikir dan bertindak.

Ada sebuah kutipan bagus dari Rocky Gerung yang bisa kita jadikan renungan bersama: 

"Ijazah itu hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah sekolah, bukan menunjukkan ia pernah berpikir."

Jadi, banggakah kita ketika gelar pendidikan yang tercantum di dapat dari selembar kertas Ijazah palsu belaka?***
 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun