Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Author, BNSP Certified Screenwriter, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Homo Homini Lupus: Ketika Kita Saling Memangsa di Negeri Sendiri. Benarkah Itu?

20 Juli 2025   14:51 Diperbarui: 20 Juli 2025   14:51 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Homo Homini Lupus: Ketika Kita Saling Memangsa di Negeri Sendiri. Benarkah Itu?, Sumber Foto: ChatGPT

"Homo homini lupus" bermakna manusia adalah serigala bagi sesamanya, dan ini merupakan ungkapan Latin yang kini terasa makin relevan dalam kehidupan berbangsa kita. 

Frasa Homo homini lupus pertama kali dicetuskan oleh Plautus, sastrawan Romawi kuno, lalu dipopulerkan oleh filsuf Thomas Hobbes dalam konteks kekacauan sosial akibat ketiadaan negara atau hukum.

Namun ironisnya, dalam konteks Indonesia hari ini, negara dan hukum ada, tapi rasa keadilan dan kemanusiaan justru kerap hilang. 

Seolah-olah negara ini hanya menjadi panggung pertunjukan, tempat siapa yang berkuasa bebas mengambil untung, sementara yang lemah saling cakar demi bertahan hidup.

Status Facebook penulis skenario film Musfar Yasin yang diunggah pada Sabtu, (19/07/2025) menangkap kegelisahan ini dengan sangat jernih:

"Orang yang berkuasa atau yang sedang memegang jabatan bukanlah orang yang mengabdi dan berjuang untuk kepentingan rakyat, tapi orang yang sedang menikmati hasil perjuangannya. Kursi dan kedudukannya diperjuangkan dengan banyak biaya dan pengorbanan."

Pernyataan ini membuka borok realitas politik kita bahwa kekuasaan bukan lagi alat perjuangan untuk orang banyak, tapi hasil panen dari investasi politik. 

Tak heran jika kebijakan yang lahir lebih sering mencekik rakyat daripada membela mereka.

"Kalau Anda rakyat kecil, maka untuk mempertahankan hidup Anda harus saling makan sesama rakyat kecil. Pungli di jalan, sekolah, kantor-kantor, adalah kegiatan survive rakyat kecil."

Kalimat ini menampar keras kesadaran kita. Dalam tekanan hidup yang makin menghimpit, rakyat kecil bukan hanya menjadi korban, tapi juga predator bagi sesamanya. 

Seorang pengendara motor kena pungli dari petugas. Seorang siswa miskin dipersulit administrasi sekolah. Seorang warga membayar "uang pelancar" untuk mengurus dokumen di kantor pemerintahan. Semuanya terjadi dalam lingkaran survival.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun