"Homo homini lupus" bermakna manusia adalah serigala bagi sesamanya, dan ini merupakan ungkapan Latin yang kini terasa makin relevan dalam kehidupan berbangsa kita.Â
Frasa Homo homini lupus pertama kali dicetuskan oleh Plautus, sastrawan Romawi kuno, lalu dipopulerkan oleh filsuf Thomas Hobbes dalam konteks kekacauan sosial akibat ketiadaan negara atau hukum.
Namun ironisnya, dalam konteks Indonesia hari ini, negara dan hukum ada, tapi rasa keadilan dan kemanusiaan justru kerap hilang.Â
Seolah-olah negara ini hanya menjadi panggung pertunjukan, tempat siapa yang berkuasa bebas mengambil untung, sementara yang lemah saling cakar demi bertahan hidup.
Status Facebook penulis skenario film Musfar Yasin yang diunggah pada Sabtu, (19/07/2025) menangkap kegelisahan ini dengan sangat jernih:
"Orang yang berkuasa atau yang sedang memegang jabatan bukanlah orang yang mengabdi dan berjuang untuk kepentingan rakyat, tapi orang yang sedang menikmati hasil perjuangannya. Kursi dan kedudukannya diperjuangkan dengan banyak biaya dan pengorbanan."
Pernyataan ini membuka borok realitas politik kita bahwa kekuasaan bukan lagi alat perjuangan untuk orang banyak, tapi hasil panen dari investasi politik.Â
Tak heran jika kebijakan yang lahir lebih sering mencekik rakyat daripada membela mereka.
"Kalau Anda rakyat kecil, maka untuk mempertahankan hidup Anda harus saling makan sesama rakyat kecil. Pungli di jalan, sekolah, kantor-kantor, adalah kegiatan survive rakyat kecil."
Kalimat ini menampar keras kesadaran kita. Dalam tekanan hidup yang makin menghimpit, rakyat kecil bukan hanya menjadi korban, tapi juga predator bagi sesamanya.Â
Seorang pengendara motor kena pungli dari petugas. Seorang siswa miskin dipersulit administrasi sekolah. Seorang warga membayar "uang pelancar" untuk mengurus dokumen di kantor pemerintahan. Semuanya terjadi dalam lingkaran survival.