Perseteruan antara dua pengacara kondang, Hotman Paris Vs Razman Nasution, kembali menjadi sorotan, dan kali ini benar-benar memalukan.
Konflik Hotman Paris Vs Razman Nasution ini bermula dari tuduhan Razman yang menyebut Hotman melakukan pelecehan terhadap mantan asistennya, Iqlima Kim.Â
Merasa hal itu tidak benar dan namanya tercemar, Hotman melaporkan balik Razman atas dugaan pencemaran nama baik.
Kasus ini pun berlanjut hingga ke Bareskrim Polri. Setelah melalui berbagai proses hukum, Razman akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.Â
Namun, alih-alih menerima keputusan tersebut dengan kepala dingin, ia justru mengamuk dan melontarkan berbagai pernyataan kontroversial.
Penyebab Kemarahan Razman
Dilansir dari berbagai media, Razman Nasution tak terima dirinya ditetapkan sebagai tersangka.Â
Ia menuding ada kejanggalan dalam proses hukum yang dijalaninya. Ia juga menyebut bahwa dirinya telah bersikap kooperatif, namun tetap dijadikan tersangka.
Dalam berbagai kesempatan, Razman kerap melontarkan pernyataan bernada keras terhadap lawannya. Ia menganggap kasus yang menyeret namanya sebagai perkara sepele dan mengklaim bahwa dirinya sedang menjadi korban dari permainan hukum.
Sikap emosional Razman ini tentu menjadi perhatian. Sebagai seorang advokat, seharusnya ia memahami bahwa setiap tindakan hukum harus melalui proses yang berlaku.Â
Pernyataannya yang terkesan meremehkan justru berpotensi memperkeruh keadaan dan merusak citra profesinya sendiri.
Etika di Pengadilan: Bagaimana Seharusnya?
Di dalam dunia hukum, seorang advokat harus menjunjung tinggi etika profesi. Dilansir dari Kode Etik Advokat Indonesia, beberapa regulasi yang mengatur etika hukum antara lain:
Kode Etik Advokat Indonesia
Pasal 2 menegaskan bahwa advokat harus bersikap jujur, satria, dan menjunjung tinggi keadilan serta kebenaran.
Advokat dilarang menyalahgunakan profesinya untuk kepentingan pribadi atau menyerang pihak lain dengan cara yang tidak etis.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Pasal 26 menyatakan bahwa advokat harus tunduk pada kode etik profesi dan dapat dikenai sanksi jika melanggarnya.
Pasal 28 menjelaskan bahwa advokat yang melanggar kode etik bisa dikenai sanksi mulai dari teguran hingga pencabutan izin praktik.
Kode etik ini dibuat untuk memastikan mereka bertindak secara profesional dan menjunjung tinggi hukum. Jika seorang advokat melanggar aturan tersebut, mereka dapat dikenai sanksi etik atau bahkan pidana.
Namun dalam praktiknya, banyak advokat maupun pihak-pihak yang terlibat dalam kasus hukum lebih mengutamakan ego dan kepentingan pribadi.Â
Tak jarang, mereka lebih sibuk membangun opini di media dibandingkan fokus pada substansi hukum itu sendiri.
Marwah Hukum dan Keadilan yang Kian Terkikis
Kasus perseteruan antara Hotman Paris dan Razman Nasution ini menjadi gambaran bagaimana hukum sering kali digunakan sebagai alat adu gengsi.Â
Alih-alih menyelesaikan perkara secara elegan, kedua belah pihak justru sibuk mempertontonkan konflik mereka di hadapan publik.
Tindakan seperti ini semakin meruntuhkan marwah hukum dan mencoreng wajah keadilan di Indonesia.Â
Ketika para advokat yang seharusnya menjadi penjaga hukum justru terlibat dalam drama penuh kontroversi, kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pun semakin menurun.
Masyarakat tentu berharap agar para penegak hukum lebih profesional dan mengedepankan etika. Jika tidak, keadilan hanya akan menjadi jargon kosong yang sulit diwujudkan.
Dengan fenomena seperti ini, bukan tak mungkin publik semakin skeptis terhadap hukum. Jika hukum terus dipertontonkan sebagai ajang perang ego, maka marwah keadilan di negeri ini akan semakin terkikis.
Peristiwa hukum antara Hotman Paris Vs Razman Nasution ini harus segera diakhiri dengan tindakan hukum yang tegas agar marwah hukum dan keadilan kembali tegak di bumi Nusantara.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI