Di negeri yang katanya demokratis ini, suara rakyat kian samar, nyaris tak terdengar. Ketika kita berbicara tentang keadilan, yang datang justru pembungkaman. Ketika kita mempertanyakan kebijakan, yang kita dapat bukan jawaban, melainkan intimidasi.
Kasus demi kasus bermunculan, mengungkap bagaimana kekuasaan digunakan bukan untuk melayani rakyat, tetapi untuk memperkaya segelintir orang. Korupsi kebijakan menjadi tren baru, di mana aturan dibuat bukan demi kepentingan publik, tetapi demi kepentingan segelintir elite.
Korupsi Kebijakan: Kejahatan Tanpa Darah, Tapi Mematikan
Di era digital ini, informasi beredar begitu cepat, tetapi justru di sini kita melihat kontradiksi. Ketika rakyat tahu ada kejanggalan dalam kebijakan publik, alih-alih ditanggapi dengan transparansi, mereka justru dihadapkan pada tembok kekuasaan yang kebal kritik.
Lihatlah bagaimana proyek-proyek besar diloloskan dengan alasan pembangunan, tetapi di baliknya ada permainan anggaran yang tak masuk akal. Bagaimana kebijakan yang seharusnya menguntungkan rakyat malah dibuat untuk memperkaya kroni dan korporasi. Bagaimana suara yang mempertanyakan keadilan malah dibungkam dengan pasal karet atau kriminalisasi.
Kita dipaksa percaya bahwa semua ini demi kepentingan bangsa, padahal jika ditelusuri lebih dalam, ada motif ekonomi-politik yang lebih dominan.
Rakyat Tidak Buta, Hanya Dipaksa Diam
Ironisnya, rakyat sebenarnya tidak buta terhadap apa yang terjadi. Mereka tahu bagaimana sumber daya alam dikeruk tanpa kejelasan kompensasi bagi daerah terdampak. Mereka sadar bagaimana pejabat silih berganti tertangkap KPK, tetapi sistem tetap berjalan seperti biasa---seolah korupsi hanya dianggap risiko jabatan, bukan kejahatan terhadap negara.
Tapi apa daya, mereka dipaksa diam. Mekanisme demokrasi yang seharusnya menjadi alat kontrol, justru digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Suara rakyat yang kritis malah dianggap ancaman.
Saatnya Melawan dengan Kebenaran
Kita tidak bisa terus-menerus pasrah. Jika kritik dianggap sebagai perlawanan, maka biarlah kebenaran menjadi senjata. Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan selalu dimulai dari suara-suara kecil yang berani berkata "cukup!"
Negeri ini adalah tempat lahir kita, tempat kita dibesarkan, tempat kita mencintai kehidupan. Jangan biarkan ia dihancurkan oleh mereka yang hanya peduli pada perut sendiri. Kita harus tetap bersuara, karena jika diam, maka kita benar-benar telah kalah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI