Ojek Online di Ujung Senja
SENJA di Jakarta selalu mirip jam pasir yang lupa dibalik. Waktu meluruh pelan, tapi entah menuju mana. Di perempatan Senen, lampu merah seperti jantung yang berdegup terlalu lama.
Arman, lelaki separuh baya , duduk di atas motornya. Jaket hijau lusuh yang dipakainya lebih mirip kain lap yang menampung sisa hujan. Telepon genggam di tangannya bergetar pelan: order masuk.
Dulu, ia hafal wajah-wajah pelanggan. Ada yang selalu minta lewat jalur belakang, ada yang cerewet dengan helm. Kini, wajah itu hanya nama samar di layar, dikuasai algoritma yang dingin. Angka, bintang, komentar singkat, dan potongan biaya yang selalu lebih besar dari yang ia terima.
Ia teringat anaknya di rumah, menunggu biaya sekolah. Terbayang istrinya yang kerap berkata lirih: "Bang, jangan pulang terlalu larut, tubuhmu tak lagi kuat." Â
Tapi bagaimana ia menjawab? Tubuh renta tak pernah bisa melawan harga minyak goreng yang terus naik.
***
Penumpangnya sore itu seorang perempuan muda. Hijabnya sederhana, wajahnya seolah datang dari masa lalu. Â
"Ke Rawamangun, Pak." Suaranya tenang, tapi ada getar yang asing.
Motor melaju menembus arus senja. Jakarta seperti tubuh raksasa yang sakit: sesak, batuk klakson, dan demam debu.