Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ojek Online di Ujung Senja

16 September 2025   20:27 Diperbarui: 16 September 2025   20:27 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melintasi Pasar Senen (Ilustrasi: DALL-E.)

Ojek Online di Ujung Senja

SENJA di Jakarta selalu mirip jam pasir yang lupa dibalik. Waktu meluruh pelan, tapi entah menuju mana. Di perempatan Senen, lampu merah seperti jantung yang berdegup terlalu lama.


Arman, lelaki separuh baya , duduk di atas motornya. Jaket hijau lusuh yang dipakainya lebih mirip kain lap yang menampung sisa hujan. Telepon genggam di tangannya bergetar pelan: order masuk.

Dulu, ia hafal wajah-wajah pelanggan. Ada yang selalu minta lewat jalur belakang, ada yang cerewet dengan helm. Kini, wajah itu hanya nama samar di layar, dikuasai algoritma yang dingin. Angka, bintang, komentar singkat, dan potongan biaya yang selalu lebih besar dari yang ia terima.

Ia teringat anaknya di rumah, menunggu biaya sekolah. Terbayang istrinya yang kerap berkata lirih: "Bang, jangan pulang terlalu larut, tubuhmu tak lagi kuat."  


Tapi bagaimana ia menjawab? Tubuh renta tak pernah bisa melawan harga minyak goreng yang terus naik.

***

Penumpangnya sore itu seorang perempuan muda. Hijabnya sederhana, wajahnya seolah datang dari masa lalu.  

"Ke Rawamangun, Pak." Suaranya tenang, tapi ada getar yang asing.

Motor melaju menembus arus senja. Jakarta seperti tubuh raksasa yang sakit: sesak, batuk klakson, dan demam debu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun