Tapi masalah tak berhenti pada gangguan bicara. Sebuah survei oleh Harvard Business Review (2022) menunjukkan bahwa 69% responden mengaku kesulitan menyampaikan ide secara jelas dalam pertemuan kerja. Bukan karena tak punya ide. Tapi karena cemas, bingung menyusun kalimat, atau merasa tidak didengar.
Saya teringat kisah Demosthenes, orator besar Yunani Kuno, yang juga seorang penggagap. Namanya hari ini mungkin lebih sering ditemukan di catatan sejarah kuno ketimbang buku komunikasi modern. Tapi ia adalah contoh tentang bagaimana seseorang menundukkan dirinya sendiri, lalu menaklukkannya.
Demosthenes lahir di Athena pada abad ke-4 SM. Ia yatim sejak kecil, pewaris yang hartanya dikorupsi oleh wali-walinya. Ia pemalu, bergigi tidak rata, dan yang paling menyakitkan bagi seorang calon pembicara: ia gagap. Sering tersendat ketika berbicara, bahkan dikatakan tak sanggup berbicara di depan khalayak. Tapi ia punya tekad yang langka.
Ia berlatih berbicara dengan kerikil di mulutnya, agar artikulasinya kuat. Ia bicara di tengah suara ombak, agar suaranya bisa mengalahkan riuh alam. Ia berlari naik turun bukit sambil membaca naskah, untuk mengatur napasnya. Dan ia berdiri di depan cermin, melatih gestur dan ekspresi tubuh. Semua itu ia lakukan dalam kesunyian yang keras dan disiplin yang nyaris menyiksa.
Suatu hari ia naik mimbar di Agora. Ia berbicara. Dan seluruh Yunani terdiam. Suaranya jelas, tajam, penuh daya. Ia bicara tentang kemerdekaan, tentang kekuasaan yang tiran, tentang keadilan yang dirampas. Namanya kemudian diabadikan dalam sejarah sebagai salah satu orator terbesar dunia.
Dari Demosthenes saya belajar: mengungkapkan isi pikiran bukan soal bakat, tapi keberanian menundukkan ketakutan. Dan ketakutan terbesar manusia sering kali bukan pada orang lain, melainkan pada dirinya sendiri.
Kesulitan menyuarakan pikiran berasal dari tiga sumber yang saling terhubung: psikologis, emosional, dan lingkungan. Kita cemas, kita takut ditertawakan, atau tumbuh dalam lingkungan yang membungkam. Seorang anak yang pernah dicemooh saat berbicara di depan kelas bisa menjadi dewasa yang memilih diam, meski pikirannya penuh gagasan.
Tapi saya percaya, menyuarakan pikiran adalah keterampilan yang bisa, bahkan harus, dilatih. Dan pelatihan terbaik bukanlah di ruang kelas retorika, tapi di ruang sunyi di mana kita belajar menyusun kata yang jujur.
Dan menulis adalah juga terapi. Menurut penelitian di University of Texas, menulis pengalaman pribadi secara teratur dapat menurunkan kecemasan hingga 27% dan meningkatkan kejelasan berpikir.
Lalu, berteater. Ya, drama memberi saya teknik berbicara, artikulasi, intonasi, dan yang tak kalah penting: empati.Â
Karena berbicara yang baik, bukan sekadar tentang kefasihan, tapi tentang keterhubungan. Apakah kata-kata kita menyentuh? Apakah ia menjangkau yang lain?
Dan jangan remehkan membaca. Karena setiap tulisan yang saya baca, dari majalah-majalah tempo doeloe mulai majalah anak-anak "Si Kuncung", "Bobo", majalah remaja "Kawanku", "Hai", kemudian majalah dewasa "Detektif & Romantika", "Senang", sampai "Gatra" dan "Tempo", juga harian "Kompas", membangun dalam diri saya suatu struktur batin: bagaimana kalimat dirangkai, bagaimana makna dipintal, bagaimana gagasan dipahat.