Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan yang Tak Pernah Usai

10 Februari 2025   09:02 Diperbarui: 10 Februari 2025   09:02 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: Image Creator Microsof Bing, Remaker AI, Photoshop)

"Aku pergi besok," kata Laila akhirnya.

Bayu mengangguk. Seperti sudah tahu. Seperti sudah pasrah.

"Dan yang berubah hanya... aku tak lagi milikmu."

Bayu tersenyum kecil, getir. "Aku tahu."

Bayu mengaduk kopinya, lambat, seolah waktu bisa diperlambat dengan sendok kecil itu. "Kali ini ke mana?"

"Melbourne," jawab Laila. "Pekerjaan baru. Hidup baru."

Bayu menatapnya lekat-lekat. "Dan apa yang kau cari di sana yang tidak bisa kau temukan di sini?"

Laila menarik napas. Ini pertanyaan yang selalu ia coba jawab, namun tak pernah tuntas. "Mungkin sesuatu yang lebih pasti," katanya akhirnya.

Bayu tertawa pelan. "Kepastian itu ilusi, Laila. Seperti kabut di Puncak. Kau kira ia bisa kau genggam. Tapi begitu kau dekati, ia menghilang."

Laila menunduk. Bukan karena tidak setuju, tetapi karena ia tahu Bayu benar. Tapi bukankah hidup adalah perjalanan ke tempat-tempat yang membuat kita percaya pada ilusi?

Laila ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tahu kata-kata tak akan cukup. Ia ingin menjelaskan bahwa bukan karena ia tak mencintai Bayu lagi. Justru karena terlalu mencintai, ia tak ingin menjadikan hubungan ini sekadar sisa dari perasaan yang dulu utuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun