"Aku pergi besok," kata Laila akhirnya.
Bayu mengangguk. Seperti sudah tahu. Seperti sudah pasrah.
"Dan yang berubah hanya... aku tak lagi milikmu."
Bayu tersenyum kecil, getir. "Aku tahu."
Bayu mengaduk kopinya, lambat, seolah waktu bisa diperlambat dengan sendok kecil itu. "Kali ini ke mana?"
"Melbourne," jawab Laila. "Pekerjaan baru. Hidup baru."
Bayu menatapnya lekat-lekat. "Dan apa yang kau cari di sana yang tidak bisa kau temukan di sini?"
Laila menarik napas. Ini pertanyaan yang selalu ia coba jawab, namun tak pernah tuntas. "Mungkin sesuatu yang lebih pasti," katanya akhirnya.
Bayu tertawa pelan. "Kepastian itu ilusi, Laila. Seperti kabut di Puncak. Kau kira ia bisa kau genggam. Tapi begitu kau dekati, ia menghilang."
Laila menunduk. Bukan karena tidak setuju, tetapi karena ia tahu Bayu benar. Tapi bukankah hidup adalah perjalanan ke tempat-tempat yang membuat kita percaya pada ilusi?
Laila ingin mengatakan sesuatu, tapi ia tahu kata-kata tak akan cukup. Ia ingin menjelaskan bahwa bukan karena ia tak mencintai Bayu lagi. Justru karena terlalu mencintai, ia tak ingin menjadikan hubungan ini sekadar sisa dari perasaan yang dulu utuh.