Mohon tunggu...
Dikdik Sadikin
Dikdik Sadikin Mohon Tunggu... Akuntan yang Penulis

Dikdik Sadikin. Kelahiran Jakarta, berdomisili di Bogor, memiliki karir di birokrasi selama sekitar 38 tahun. Menulis menjadi salah satu hobby mengisi waktu luang, selain menggambar karikatur. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di beberapa antologi cerpen, juga di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Sebagai penulis, Dikdik juga tergabung sebagai anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 2006).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan yang Tak Pernah Usai

10 Februari 2025   09:02 Diperbarui: 10 Februari 2025   09:02 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: Image Creator Microsof Bing, Remaker AI, Photoshop)


Hujan yang Tak Pernah Usai

Oleh Dikdik Sadikin

HUJAN di Bogor selalu punya cara sendiri untuk menguji perasaan. Rintiknya jatuh perlahan, menyentuh dedaunan, mengguyur trotoar, mengisi celah-celah batu di Kebun Raya, merembes masuk ke dalam dada.

Laila berdiri di bawah atap sebuah kafe di Jalan Pangrango, tempat yang dulu menjadi pertemuan, tempat yang kini menjadi jeda.

Aroma tanah basah menyusup ke dalam rongga napasnya, mengingatkan Laila pada sore-sore yang dulu mereka habiskan bersama. Ia berdiri di depan jendela kafe tempat biasa mereka bertemu, melihat bayangannya sendiri di balik pantulan kaca.

Di dalam sana, Bayu duduk sendirian. Matanya tertuju pada cangkir kopi yang tak disentuh. Seperti menunggu sesuatu yang tak akan datang.

Laila tahu ini sulit. Bukan hanya untuknya, tapi juga untuk Bayu.

Ia melangkah masuk, berusaha mengukir senyum, meski hatinya terasa remuk. Bayu mengangkat wajahnya perlahan, menyambutnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan.

"Maaf membuatmu menunggu."

Bayu menggeleng. "Aku tak keberatan."

Sejenak, hanya diam yang berbicara di antara mereka. Hening yang terlalu bising di dalam kepala Laila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun