Hujan yang Tak Pernah Usai
Oleh Dikdik Sadikin
HUJAN di Bogor selalu punya cara sendiri untuk menguji perasaan. Rintiknya jatuh perlahan, menyentuh dedaunan, mengguyur trotoar, mengisi celah-celah batu di Kebun Raya, merembes masuk ke dalam dada.
Laila berdiri di bawah atap sebuah kafe di Jalan Pangrango, tempat yang dulu menjadi pertemuan, tempat yang kini menjadi jeda.
Aroma tanah basah menyusup ke dalam rongga napasnya, mengingatkan Laila pada sore-sore yang dulu mereka habiskan bersama. Ia berdiri di depan jendela kafe tempat biasa mereka bertemu, melihat bayangannya sendiri di balik pantulan kaca.
Di dalam sana, Bayu duduk sendirian. Matanya tertuju pada cangkir kopi yang tak disentuh. Seperti menunggu sesuatu yang tak akan datang.
Laila tahu ini sulit. Bukan hanya untuknya, tapi juga untuk Bayu.
Ia melangkah masuk, berusaha mengukir senyum, meski hatinya terasa remuk. Bayu mengangkat wajahnya perlahan, menyambutnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan.
"Maaf membuatmu menunggu."
Bayu menggeleng. "Aku tak keberatan."
Sejenak, hanya diam yang berbicara di antara mereka. Hening yang terlalu bising di dalam kepala Laila.